17 | Meringan

10 2 0
                                    

Entah sejak kapan untuk mengangkat bibir saja terasa seberat itu.

***

Dua perempuan itu dalam posisi yang sama selama 15 menit. Isvara masih memeluk tubuh Mada serta mengelus punggungnya yang tertutup rambut. Perlahan Mada luluh, emosinya melunak.

Setelah dirasa perempuan itu benar-benar tenang, Isvara melepas pelukannya. Ia mengusap pipi mulus Mada. "Sekarang, kita makan, yuk? Gue udah lapar banget, nih," ujarnya sembari mengelus perutnya sendiri dan tersenyum.

Sebelumnya, Isvara meminta Manggala untuk menurunkannya di lampu merah. Ia pikir, tidak bisa jika meninggalkan Mada di kos sendirian. Mental perempuan itu sedang tidak bagus, harus ada seseorang yang mendampingi atau kalau tidak—ya, akhirnya, Isvara segera kembali ke kos Mada. Beruntungnya ia tepat waktu dan berhasil menghentikan tindakan gila Mada.

Isvara meraih kotak P3K kecil di rak buku Mada. Ia lap sedikit darah di lengan mada menggunakan kapas beralkohol. Akibat sedikit gemetaran melihat darah, Isvara tidak sengaja menekan luka itu. Namun, bukannya mengaduh kesakitan, ekspresi Mada masih sama datarnya.

Tubuh perempuan yang rambutnya selalu dikepang itu sedikit menegang saat melihat banyak sekali bekas goresan yang lain di lengan Mada ketika ia menyingkap baju lengan blazernya. Ia berusaha cool meskipun aslinya terkejut sekali.

"Dah," ucap Isvara dengan senyuman setelah selesai menempelkan hansaplast di luka tadi. Ia kembali memasukkan peralatan P3K itu ke kotaknya. Kemudian, tangannya sibuk membuka bungkusan di dalam plastik yang terdapat tusuk-tusuk dari bilah bambu. "Gue beliin sate khusus orang hamil. Tadi request dulu ke amangnya depan kos. Hehehe."

Mada menghela napas. Ia menatap kosong tembok di hadapannya. Tidak tergugah sama sekali dengan bau gurih sate kambing yang terbaluri sambal kacang itu.

"Lo mau makan sendiri apa gue suapin, nih?" tanya Isvara.

"Lo pulang, deh, Is," ujar Mada pada akhirnya bersuara.

Bukannya tersinggung, Isvara justru tersenyum lebar. Merasa senang akhirnya Mada mau berbicara dengannya meskipun dengan nada dingin.

"Gue mau tidur sini," balas Isvara kalem. "Soalnya di rumah juga gue sendiri. Masa gue balik ke rumah nenek lagi?"

Isvara mengambil piring milik Mada, lalu menumpahkan nasi lontong dan sate ke piring plastik itu.

"Makan bareng aja, yuk, biar enak. Gue juga ikut makan sate spesial buat orang hamil, nih." Isvara terkikik sendiri dengan ucapannya. Ia tidak menyerah untuk mencoba menghidupkan suasana.

Akhirnya, malam itu mereka makan bersama. Setelahnya, tidak lupa Isvara menyiapkan susu untuk Mada dan mengupas apel untuk dimakan berdua sebagai cuci mulut.

"Eh, tapi serius," ujar Isvara membuka topik lagi. Kini, mereka sedang rebahan di atas kasur. "Kok, lo bisa nemu kucing semanis lucu itu, sih?"

Sembari selonjor, Isvara meletakkan laptopnya di atas kaki, membuka aplikasi YouTube untuk menonton saluran yang sekiranya menarik.

"Di jalan," jawab Mada masih hanya singkat.

"Terus?" desak Isvara. "Maksud gue, coba ceritain dari awal. Secara kucing sebagus ini harusnya udah ditemuin orang lain."

"Ya ... gitu." Mada menghela napas, ikut mendengarkam musik yang terputar dari laptop. "Dalam kardus di pinggir jalan." Berhenti sejenak, Mada melanjutkan, "Gue nggak tega biarin mereka nunggu orang lain ambil. Jalanan sepi banget. Bapak itu juga nggak balik buat ambil lagi. Beliau cuma bawa satu ekor."

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang