2 | Pohon Muda

14 4 0
                                    

Aku selalu berpikir bahwa hidup orang lain mungkin tidak seberuntung hidupku, tetapi kenapa hidupku begitu sengsara begini? Apa orang lain juga mengalami yang lebih parah dariku?

***

Jangan pergi.

Manu membuka mata, melihat sekeliling yang begitu terang benderang. Ia berada di sebuah tempat yang lumayan panas, outdoor. Suara yang terngiang tadi menghilang, digantikan suara beberapa kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di jalanan. Di mana ia?

Dilihat-lihat, sepertinya ia berada di pinggir jalan dekat kampusnya. Namun, ia tidak begitu mengenali jalan ini karena ada yang berbeda. Sepertinya ini berada di dekat FHISIP, fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik. Apakah baru-baru ini direnovasi?

Laki-laki itu tidak ingat mengapa dirinya berada di sana dan apa yang akan ia lakukan. Tangannya merogoh saku celana kargonya. Seluruh kantong ia rogoh, tetapi tidak ia temukan apa yang ia cari. Bahkan, semua saku kosong.

Apa ini? Apakah ia baru saja dihipnotis orang dan dijambret? Ponselnya pun tidak ada!

Tatapannya mengarah pada sosok perempuan yang sedang duduk di kursi semen di bawah pohon besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Perempuan itu menunduk dalam sampai rambut panjang bergelombangnya menutupi seluruh wajah. Perlahan, perempuan itu mendongak. Namun, tatapannya sangat kosong dan seolah tidak ada tanda kehidupan sama sekali di sana.

Selain perempuan itu, tidak ada orang lain di sana. Hanya beberapa kali orang lewat yang sibuk sendiri berlalu-lalang.

"Mbak? Permisi," sapa Manu berbasa-basi dahulu.

Perempuan itu masih belum menoleh dan tetap menatap kosong ke depan.

Manu berusaha mengibaskan tangannya di depan wajah perempuan itu. Takut-takut jika ternyata si perempuan juga baru kena hipnotis.

Akhirnya, wajah pucat itu menoleh. Setengah wajahnya tertutup helaian rambut, tidak ada niat untuk menyingkapnya, tetapi justru membuatnya terlihat begitu cantik dan manis.

"Mbak enggak apa-apa?" tanya Manu hati-hati. Namun, ia sedikit tersentak saat mengamati wajahnya yang familier. Sangat mirip. Bedanya, wajah yang ini tidak begitu memiliki kerutan—atau bahkan sangat mulus. Hidungnya yang mancung, bermata bulat, dan bibir merekah yang saat ini sedang terlihat pucat.

Bukan hanya Manu, gadis itu juga tampak terkejut. Matanya menatap tajam Manu, lalu berdiri dengan cepat. Ia menjauh, memberi jarak. Tangannya langsung menggenggam erat totebag rajut yang tersampir di bahu kanannya. Wajahnya semakin pucat saat menatap Manu.

"Maaf, saya mengejutkan Mbak, ya?"

Tidak menjawab, wanita itu memutar badan, lalu pergi dengan langkah cepat.

Manu terbengong-bengong di tempatnya berdiri. Ia tidak mengerti untuk beberapa detik saja. Setelahnya, ia kembali sadar. Tas rajut berwarna hijau lumut itu mengingatkannya pada seseorang.

Mama.

Apakah gadis yang baru saja ia temui adalah saudara mamanya? Bisa jadi karena wajah dan cara berjalannya mirip persis dengan mamanya. Bahkan, tas rajut itu mungkin hasil karya tangan mamanya. Manu yakin seratus persen.

Akhirnya, laki-laki itu mengikuti arah pergi gadis yang sepertinya sepantaran dengannya itu. Namun, ia terlalu lambat. Sampai di gerbang depan kampus, tidak ia temukan sosok itu. Hilang.

"Argh!"

Manu mengepalkan tangannya kuat, meninju udara sembari menendang kerikil di depannya. Entah kenapa ia sangat menyesal tidak bisa menemui gadis itu.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang