22 | Pohon yang Lain

5 2 0
                                    

Kukira hidup sendiri saja cukup, ternyata aku tetap membutuhkan orang lain.

***

Bukan hanya Manu, tetapi juga Isvara dan Manggala heran kenapa Mada hanya sendiri. Apakah perempuan itu tidak berniat memberi tahu orang tua dan keluarganya mengenai hal ini? Namun, ketiganya tidak ada yang berani untuk menanyakan secara langsung.

Bahkan, yang waktu itu Manggala bertanya mengenai siapa 'laki-laki itu' saja sebenarnya ia deg-degan takut Mada akan kembali murung seperti dahulu. Beruntungnya waktu itu Mada tidak apa-apa. Malamnya pun Manu masih tidur di pos kamling, takut jika malam-malam terjadi sesuatu pada Mada. 

Selain itu, entah kenapa Mada seperti tidak punya kerabat lain karena selama 19 tahun hidup, Manu belum pernah dipertemukan dengan keluarga besar. Mungkin hanya saat itu, keluarga dari pihak papa—yang berakhir tidak menyenangkan juga.

Mada itu seperti bawang merah. Terlalu banyak lapisan pada dirinya yang tidak bisa dibuka sekali. Terlalu dalam ia menyembunyikan sedihnya sendirian tanpa orang lain tahu.

Hari Minggu kali ini, cuaca sedang mendung. Tidak sampai hujan, tetapi hanya gelap dan lembap. Tidak ada angin sehingga terasa panas. Manu mengipas-ngipas Mada dengan kipas tangan sedang dirinya penuh peluh keringat.

Seharian ia tunggu kedatangan Jay seperti yang sudah ia suruh kemarin, tetapi sampai sore pun baik hujan maupun Jay tidak ada yang datang.

"Lo hari ini kayak gelisah banget. Kenapa?"

Manu tersentak saat diam-diam Mada memerhatikannya. Ya, hari ini Manu sendirian di rumah Mada. Tidak ada Isvara atau Manggala yang biasanya juga berkumpul di sana.

Mungkin Mada melihat Manu yang kentara jelas seperti sedang menunggu seseorang juga ketika sedang mengepalkan tangan sangat erat. Alih-alih menjawab, laki-laki itu hanya tersenyum kecil.

"Oh, iya, lo nggak ada niatan pulang? Maksud gue, lo biasa pulang kampung berapa bulan sekali?" tanya Manu memancing, berusaha tidak menyinggung.

Mada jadi terlihat sedikit melamun. Ia menatap kipas tangan yang bergambar Monokurobo berwarna hitam putih itu.

Sontak Manu salah tingkah karena sepertinya ia berhasil menyinggung Mada. "Sorry."

"Gimana bisa gue pulang?" Mada terisak.

Manu jadi tidak enak bertanya. "Nggak apa. Kalau lo emang nggak punya keberanian buat pulang, lebih baik di sini aja sama kita sampai bayi itu lahir," ujar Manu menenangkan Mada. Ia mengelus kepala perempuan itu supaya berhenti menangis.

"Gue pengen. Tapi, gue takut mereka bakal kecewa sama gue dan hal terburuknya—" Mada menyeka air matanya yang bahkan belum sampai jatuh, masih menggantung di kelopak mata. "Menurut lo, gue harus pulang sekarang dan ngasih tau mereka?"

Ada apa? Kalau begitu, artinya Mada masih memiliki kedua orang tua, 'kan? Manu merasa sangat bodoh tidak mengetahui apa-apa soal latar belakang mamanya sendiri.

Setelah beberapa saat Manu hanya diam tidak menjawab, ia akhirnya menatap luar kos dari pintu. "Kayaknya gue yang harusnya pulang dulu. Lo sama mereka dulu, ya, gue mau mandi. Udah bau banget pasti lo dari tadi nahan, ya?"

Mada mengendikkan bahunya. Setelah masa-masa teler itu berakhir, Mada tidak lagi masalah soal bau-bauan meskipun sesekali masih sering mual. Justru ia merasa nyaman berada di dekat Manu. Ikatan itu ternyata sangat mengeratkan mereka.

Mobil Manggala terparkir di pinggir jalan seperti biasanya. Ia datang bersama Isvara dengan plastik berisi makanan yang masih mengepulkan asap hangat. Manu langsung beranjak untuk pulang ke rumah Manggala lebih dahulu.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang