6 | Terus Bertumbuh

10 4 0
                                    

Apalah arti hidup ini. Semua orang seperti sedang berebut membuatku menderita.

***

Mada menyelipkan sesuatu ke saku celananya. Setelah mengunci pintu kos, ia berjalan dengan normal menuju kampus. Langkahnya menjadi lebar-lebar karena merasa ada yang mengikuti dari belakang.

Setelah masalahnya itu, ia jadi merasa sangat waswas, takut jika hal yang sama akan terjadi lagi. Yah, sebenci apa pun ia kepada dirinya sendiri, ia juga membenci semua orang. Jadi, ia mengira semua orang juga membencinya.

Semoga Grey sama Coco baik-baik di rumah, batinnya mencoba mengalihkan pikiran buruk.

Di sepanjang jalan menuju kampus, kepala Mada terasa sangat pusing akibat tidak tidur dua hari dua malam. Semalam ia terjaga sampai pagi. Sudah mencoba memejamkan mata, justru bayangan buruk yang muncul sehingga ia memutuskan untuk tidak merem.

Apalagi ia saat ini berjalan sangat cepat demi menghindari sosok yang mengikutinya sejak ia keluar kos. Seolah ia bisa pingsan di jalan saking sakitnya kepalanya.

Tidak-tidak. Mada kuat, tidak mungkin segini saja tumbang. Ia terus memberi sugesti pada dirinya sendiri.

Sampai di depan fakultasnya, ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Laki-laki itu lagi. Sepertinya laki-laki itu tidak menyerah mengikutinya. Entah apa yang ia inginkan dari Mada.

Melihat laki-laki itu sedang sok sibuk menyapa orang lain, ia menggunakan kesempatan itu untuk melipir. Mumpung tidak diperhatikan, ia secepat kilat pergi dari sana.

Berjalan menuju toilet, Mada bertemu dengan gadis yang kemarin. Ia menyerahkan tugas proposal yang diminta kemarin. "Nih," ujarnya tanpa basa-basi.

"Makasih, kek, udah ditungguin juga," ujar gadis itu sedikit sinis.

Ia tidak mengindahkan, kembali menutup totebag putih tulang miliknya, lalu meneruskan langkah menuju toilet.

Pagi ini ia sarapan mie instan yang dibelinya kemarin, itu pun tidak habis. Baru beberapa suap sudah tidak nafsu lagi. Ia juga sudah minum Paracetamol. Namun, entah kenapa pusing masih melanda. Perutnya seperti diaduk, mual, dan berkeringat dingin.

Setelah buang air kecil, ia duduk lama di kloset. Menunggu sampai pusingnya mereda dan keringat dingin menghilang. Sekitar sepuluh menit barulah ia keluar, setelah sedikit tenang.

Selesai dari toilet, Mada mengecek lagi wajahnya di pantulan cermin. Pucat seperti mayat hidup. Terlihat lelah sekali.

"Finally kita ketemu di sini!"

Suara itu tidak mengejutkannya sama sekali. Ia saja sudah tahu jika dirinya sedari tadi diikuti bukan hanya satu orang. Kali ini, dua gadis yang dulunya adalah temannya, muncul dengan tangan bersedekap dada.

"Lo masih punya muka buat ke kampus? Setelah yang lo lakuin itu?"

Mada melirik sebentar dengan tatapan tanpa minat. Bukan hanya senyum dan wajah ramahnya saja yang hilang, perasaannya pun mulai hilang. Ia tidak peduli lagi meskipun kesalahannya diungkit.

Ya, setidaknya berlaku jahat di hadapan orang yang menganggapnya jahat. Supaya mereka membuktikan bahwa dirinya memang sejahat itu.

"Lo tau gimana keadaan Dalisay saat ini? Dia depresi dan nggak mau ketemu orang! Itu semua karena siapa? Karena lo!" tuding si gadis berambut dicepol ke atas.

"Seburuk-buruknya temen, lo emang paling buruk, Da!" Satunya lagi ikut menyambungi.

Mada menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Matanya memejam sejenak sebelum kembali terbuka dan menatap hal lain. Ia berlalu begitu saja dari hadapan dua orang itu seolah tidak melihat keberadaan mereka. Membiarkan mereka menggerutu kesal karena diabaikan.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang