27 | Sendiri

2 0 0
                                    

Aku sudah terbiasa dengan kesendirian ini sampai tidak biasa jika bersama orang lain.

***

Sudah diusir dan tidak dianggap pun Jay masih datang setiap hari. Entah apa yang mengubah pemikiran laki-laki itu sehingga dari yang tadinya sangat sombong menjadi selembut itu terhadap Mada.

Isvara sampai heran bingung harus meletakkan barang-barang di mana lagi. Setiap datang pasti Jay membawa sesuatu sampai kos Mada terasa penuh sesak oleh barang-barang yang tidak digunakan itu.

"Lo kalau nggak beneran niat nggak usah datang ngapa, sih?" sewot Manggala saat Jay datang lagi dan mereka bertemu lagi.

"Apanya yang nggak niat? Gue datang tiap hari selama ini masih dibilang nggak niat? Ckck, dasar wibu!" Jay menggelengkan kepala, pilih berjalan memasuki area kos.

Manggala yang juga mau ke kos Mada ikut masuk pada pagar yang terbuka. "Wibu pun gue nggak mainin perasaan orang lain. Gue setia sama waifu gue, ya!"

"Nggak waras," gumam Jay yang masih bisa didengar orang lain.

"Kayaknya lo lebih nggak waras." Manu ikut menyambungi dari belakang. "Apa maksud lo datang setelah dulu pertama gue suruh ke sini lo malah jahat ke Mada? Dan sekarang dengan nggak jelasnya berubah jadi sebaik ibu peri? Gue curiga ada yang nggak beres."

Hari masih begitu pagi untuk berdebat. Memang matahari sudah meninggi, tetapi jam masih menunjukkan pukul 9 pagi. Manu dan Manggala juga baru datang, kebetulan bersamaan dengan Jay yang lebih dahulu memasuki pagar kos.

"Udah gue bilang, 'kan, gue mau lihat anak gue? Pasti jagoan gue bakal keren kayak gue," balas Jay penuh percaya diri.

"Mimpi! Siapa yang mau kayak lo playboy nggak tau diri dan nggak bertanggung jawab?!" tanya Manu dengan nada sewot tidak terima.

"Lah, dia, kan, anak gue, ya, pasti bakal mirip guelah," protes Jay.

"Najis banget mirip lo!" seru Manu. Ia menunjukkan gaya seperti orang muntah sembari berseru, "Hoek!"

"Lo ngapa sensi amat, emang lo anak gue?"

Memang, sih, wajah mereka jika diperhatikan mirip. Dilihat sekilas pun agak mirip. Hanya gaya rambut saja yang membuat orang-orang membedakan. Mereka jadi tidak terlihat mirip karena hal itu.

Lalu, sifatnya juga perpaduan antara Mada dan Jay. Kecuali sifat playboy. Sebisa mungkin Manu tidak akan menjadi seperti Jay yang suka bermain perempuan, sombong, dan tidak bertanggung jawab itu.

"Da, gue hari ini nggak bawa apa-apa, 'kan? Lo lihat? Nggak ada," ucap Jay. Ia melebarkan tangannya ke hadapan Mada yang sedang sibuk merajut.

Tentu saja Mada tidak menanggapinya. Perempuan itu sudah sangat bersyukur tidak kembali mengingat trauma dan rasa takutnya ketika melihat Jay. Ia bisa melawannya mungkin karena sudah terbiasa Jay datang setiap hari dan mungkin juga karena ia sekarang memiliki teman-teman yang selalu menemaninya setiap hari.

Acap kali ia merasakan anxiety atau panic attack tiba-tiba, tiga orang itu datang untuk menyembuhkannya. Entah hanya dengan memanggilnya, mengajaknya ngobrol, atau sekadar bercanda garing.

"Tapi, tenang aja!" seru Jay yang lagi-lagi sedang mencari perhatian Mada. "Ja-jang! Gue bawa dua tiket pesawat buat kita."

Mada berhenti melakukan aktivitasnya. Ia melirik sebentar ke arah Jay yang mengacungkan dua kertas panjang mengkilap dengan senyum lebarnya. Lalu, matanya kembali fokus dengan benang-benang di tangannya.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang