5 | Mekarlah Kembali

5 5 0
                                    

Kalau aku sama dengan bunga matahari, kenapa kau memetiknya? Kenapa tidak kau biarkan aku tumbuh sampai akhirnya layu dengan sendirinya?

***

Namanya Mada Awahita. Tidak ada yang menarik dalam hidupnya. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa ia memiliki paras yang cantik dan mampu menghipnotis siapa pun baik perempuan atau laki-laki. Ia memiliki tipe wajah oriental, simetris, kedua mata bulat, pipi sedikit tembam, hidung mancung, dan jaw line. Ditambah kedua alis yang terbentuk alami dan bukan tipe orang yang memiliki dahi lebar.

Hampir setiap orang yang berbicara dengannya selalu memuji kecantikan alaminya. Wajahnya memang tipe yang enak dipandang dan seperti memiliki magnet yang mampu menarik perhatian.

Akan tetapi, dari sekian banyak kesempurnaan fisik yang ia miliki, ia tidak memiliki sifat yang bagus. Tidak seperti namanya (Awahita) yang berarti seorang perempuan yang penuh perhatian. Semasa kuliah ia dijuluki gadis tanpa perasaan akibat sering menolak pernyataan cinta dari para lelaki. Padahal ia menolak dengan sangat halus dan tidak melukai perasaan siapa pun.

Akhirnya, orang-orang yang awalnya suka memandangnya karena cantik, kini memandangnya iri karena cantik.

Pada suatu hari, ia baru keluar kelas siang hari. Kepalanya pusing sekali dan ia ingin buang air kecil terus seharian. Sebenarnya, ia sudah mengalami pusing berkepanjangan ini sejak sekitar dua minggu terakhir.

"Jangan lupa proposal minggu lalu dikumpulin ke gue," ujar seorang gadis berambut lurus rebonding kepada Mada yang sedang berdiri di depan cermin wastafel toilet perempuan. Gadis itu menatap Mada lewat cermin.

Yang ditatap tidak balik menatap, pura-pura sibuk dengan tas rajut hijau lumut miliknya. Ia hanya berdeham menanggapi.

"Tumben lo belum ngumpulin. Biasanya paling pertama."

Masih diam saja. Perempuan dengan tinggi 165 cm itu tidak minat berbicara dengan orang lain.

"BTW, gue lihat-lihat lo udah jarang jalan bareng si—"

"Gue duluan," potong Mada segera berlalu dari sana. Meninggalkan si gadis itu yang mulai mengentakkan kakinya kesal karena ucapannya dipotong.

Mada masih mengingat wajahnya di pantulan cermin tadi. Pucat, kantung mata menghitam, dan seperti tidak punya gairah hidup. Cahayanya meredup. Maka ia membatasi diri berbicara dengan orang lain apalagi membahas hal tidak penting.

Bukan itu saja. Perubahan dalam dirinya juga terjadi pada nafsu makan menurun, mudah lelah, mengantuk, juga malas melakukan apa pun. Meskipun mengantuk terus, setiap malam ia akan terjaga oleh over thinking.

Baru juga berjalan dari toilet ke area luar fakultas, kakinya terasa pegal dan jantungnya berdebar. Akhirnya, ia memutuskan untuk duduk di kursi semen di bawah pohon besar.

"Astaga, apa yang udah gue lakuin?" tanyanya pada diri sendiri. Ia menunduk dalam sampai rasanya lehernya mau patah. Tubuhnya terasa bergetar, teringat dosa yang sudah ia perbuat.

Mendongak, ia menatap kosong jalanan depan fakultas yang tidak begitu ramai. Beberapa kendaraan mondar-mandir, juga orang-orang yang berjalan kaki. Ia biarkan saja rambut gelombangnya menutupi sebagian wajah.

Tiba-tiba sebuah tangan memecah lamunannya. Ia menoleh perlahan dan mendapati seorang laki-laki tinggi, berkulit kuning langsat, berambut belah pinggir, dan ekspresi kebingungan. Ternyata tangan laki-laki itu yang mengibas di depan wajahnya.

"Mbak nggak apa-apa?"

Mada terkejut menyadari orang itu adalah laki-laki. Makhluk yang sangat ingin ia hindari untuk saat ini. Apalagi saat laki-laki itu menatapnya seperti mengamati, ia langsung berdiri dan memegang erat totebag rajutnya ke depan dada.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang