21 | Ketemu

6 3 0
                                    

Biarpun pohonnya mengalami kecacatan dimakan ulat, buahnya terasa manis.

*****

Sebulan setelah masa-masa sulit itu, Mada akhirnya sudah semakin mereda. Tubuhnya menjadi sangat kurus akibat makan yang sangat sedikit. Tiap makan pasti muntah lagi. Perutnya menolak banyak sekali makanan yang dulunya ia sukai.

Malam mulai turun. Matahari tenggelam ke peraduannya dengan sangat indah. Memang tempat Mada tinggal bukan di dataran tinggi, tetapi menyaksikan matahari tenggelam di balik gedung-gedung tinggi dan menyemburatkan jingga cantik mampu membuat Mada sedikit tenang. Pikirannya lebih plong dan bersyukur.

Bersyukur ia masih hidup. Masih bisa menikmati keindahan alam bersama orang-orang baik yang selama ini selalu membantunya.

Kini mereka sedang duduk di pos kamling bersama-sama, menghadap arah barat, arah tenggelamnya sang surya. Berempat semua tersenyum tanpa beban. Seolah hari esok hanyalah hari esok, entah apa masalah yang akan datang, saat ini tidak ada kaitannya. Beban yang selama ini berada di pundak, untuk sementara mereka lepas dan taruh di tanah. Biarkan bumi membantu mereka memanggulnya sejenak.

"Da," panggil Manggala membuat bukan Mada saja yang menoleh ketika matahari sudah benar-benar ditelan oleh gedung-gedung tinggi itu. "Siapa, sih, orangnya?"

Isvara menyikut perut Manggala karena menanyakan hal yang sudah selama ini mereka hindari.

Namun, Manu dan Mada diam saja, seolah tidak terusik dengan pertanyaan itu karena Manu juga ingin tahu, sedangkan Mada masih mengingat-ingat kembali.

Semburat oranye itu perlahan menghilang, digantikan langit yang mulai gelap.

"Gue takut," ujar Mada yang tidak menjawab pertanyaan Manggala barusan.

"Bilang aja, nggak apa-apa. Nggak usah takut, ada si sabuk hitam karate sama gue yang punya jurus seribu bayangaaa-aw! Sakit tauk!"

Isvara semakin mencubit keras perut Manggala karena laki-laki itu tidak bisa untuk diam saja. Ia hanya takut jika Mada tidak nyaman karena memang belum waktunya ingin bercerita.

"Nggak usah dijawah, Da, kalau nggak mau. Lo bisa cerita kapan aja lo mau, kita nggak akan maksa," ujar Isvara cepat. Padahal aslinya ia juga penasaran. Setega itu (orang itu) sampai tidak pernah menunjukkan wajahnya lagi selama hampir dua bulan Mada mengandung.

Mada menghela napas pendek sebelum berkata, "Dulu awalnya kita cuma teman satu organisasi. Gue jadi nyesel kenapa pernah ikut organisasi itu. Orang-orangnya pada toxic, suka bullying, dan emang semuanya bullshit."

Manu otomatis melirik Manggala, membenarkan ucapan laki-laki bermata sipit itu yang dulu pernah mengatakan kalau Mada pernah dekat dengan seseorang.

"Gue nggak tau kenapa bisa sampai sejauh ini."

Kedua tangan Manu terkepal kuat. Ia jadi teringat jika usia mamanya saat ini 18 menuju 19 tahun dan di masa depan saat ia 19 tahun adalah 37 tahun, maka benar yang dikandung mamanya saat ini adalah dirinya. Dan tentu saja laki-laki bejat itu adalah papanya.

Melihat emosi Manu seakan bisa keluar asap lewat telinga itu, Manggala insiatif menepuk pundaknya agar sedikit tenang. Sama. Setelah bersama Mada selama sebulan terakhir, ia jadi mengerti perasaan dan trauma yang dialami perempuan itu. Meskipun ia laki-laki, ia tidak membenarkan perlakuan tidak bertanggung jawab yang membuat anak orang sekacau ini.

"Lo bisa katakan ciri-cirinya dan gue akan langsung temui dia di mana," ujar Manu dengan nada sedingin es kutub Utara.

"Lo bakal kenal?" tanya Manggala.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang