13 | Lucky Bamboo

2 0 0
                                    

Kalau apa yang aku pikirkan itulah yang akan terjadi, pantas saja bahagia tidak pernah terjadi padaku.

***

Mama?

Mada saja masih muda dan belum menikah, bagaimana bisa ada yang memanggilnya mama? Tidak-tidak, ia memang tidak berencana untuk berkeluarga. Ia hanya ingin segera mengakhiri semuanya.

Namun, kenapa hari yang ia kira waktu yang tepat malah berakhir mengecewakan? Ia sudah sangat tenang berpikir bahwa dirinya terbang menuju langit. Ternyata seseorang menyelamatkannya. Mengangkat tubuhnya sampai ke sebuah mobil, lalu membawanya kembali ke tempat yang sudah tidak ia inginkan itu, kosnya.

Kenapa lo harus ikut-ikutan dalam masalah gue?

Pertanyaan yang ingin sekali Mada tanyakan sejak ia masuk taksi, tetapi tidak kunjung keluar dari bibirnya. Hanya tertahan di ujung lidah. Malas berbicara, malas juga mendengar jawaban apa yang akan dikatakan laki-laki itu nantinya. Malahan ia melamun, menatap jalanan luar dari kaca mobil. Tatapan kosongnya beralih ke langit biru yang ternyata tidak berpihak padanya hari itu.

"Langit lagi cerah banget, ya. Suasananya enak buat makan Indomie ayam bawang pake telur sama minumnya jasmine tea."

Celetukan dari kursi depan Mada itu tidak ia hiraukan. Telinganya memang mendengar, tetapi tidak ada niat untuk berpikir. Setelah ia mengedip pun lupa kalimat apa yang baru saja ia dengar itu. Ia tidak ingin memikirkan basa-basi payah itu. Biarkan mereka saja yang merasa canggung, ia tidak.

Ia juga sadar jika terus diperhatikan dari sebelahnya dan itu adalah kesempatan untuknya menanyakan pertanyaan tadi. Namun, lagi-lagi ia memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat. Hingga perjalanan yang terasa sangat panjang itu sampai juga di depan kosnya.

"Kalian pergi," usir Mada dengan nada dingin.

Mada memang tidak mempunyai perasaan. Ya, ia membuktikan pada dirinya sendiri. Namun, orang yang ikut campur dengan dirinya itu lebih tidak punya perasaan. Mereka telah mengusiknya.

"Eh, Da, seenggaknya lo merasa apa, ya ... Manu barusan nyelametin-"

"Oke, kita pergi. Lo istirahat yang bener. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, minum, sama tidur yang cukup. Nggak usah banyak pikiran."

Mada tidak berminat berdebat. Ia sudah lelah, tidak ingin menyalahkan siapa pun lagi. Hanya ingin istirahat dengan tenang, tanpa beban pikiran.

"Sama apa yang udah terjadi ...."

Mada yang hendak membuka pintu berhenti sejenak ketika mendengar kalimat menggantung dari laki-laki yang membopongnya tadi.

Apa yang udah terjadi? Memangnya laki-laki itu tahu apa yang sudah terjadi? Sok tau sekali, pikir Mada.

" ... ya udah, nggak usah dipikirin lagi. Kalau lo butuh apa-apa, telepon gue. Ini nomor gue, lo simpan baik-baik."

"Nggak butuh," jawabnya tanpa menoleh. Ia segera membuka pintu, masuk, lalu mengunci pintu dari dalam. Sengaja suaranya ia keraskan agar mereka tahu kalau ia tidak ingin diganggu lagi. Sudah, cukup.

Mada langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Tubuhnya telentang membentuk bintang besar. Matanya memejam, membayangkan banyak hal, mulai dari kalau saja ia benaran terbang dan bisa pergi tadi. Lalu, ia akan melupakan semua masalah dan hanya menjadi bintang di langit, tidak perlu mengingat apa yang sudah terjadi dalam hidupnya.

Sebenarnya, laki-laki itu siapa, sih? Kenapa ia seolah tahu apa yang Mada rasakan, pernah lakukan, dan masalah pribadi Mada. Lalu, apa motifnya?

Tidak mungkin bagian dari kerabatnya. Namun, kenapa seolah mereka memiliki ikatan yang tak kasat mata?

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang