19 | Berbuah Manis

3 3 0
                                    

Perlahan, pohon itu bertumbuh dan berbuah. Tapi, jangan dulu kau tebang karena ia masih akan terus bertumbuh sampai tua dan tidak bisa berbuah lagi.

***

"Sorry."

Mada masih meminta maaf soal ia yang muntah tidak sengaja mengenai kaki Manu. Padahal sudah dibersihkan dan Manu bilang tidak apa-apa, tetapi Mada masih merasa bersalah.

"Gue bilang nggak apa-apa. Lo udah baikan bener?" Manu juga bertanya setelah mereka kembali masuk ke kos karena baunya sudah menghilang.

Mada mengangguk lemah. Ia naik ke kasur, menarik selimut sembari rebahan.

"Lo nggak mau makan dulu, Da? Lo belum makan siang, loh." Isvara mengingatkan karena setelah muntah dan minum air untuk mencegah dehidrasi, Mada terlihat lemas sekali.

"Gue lagi nggak ingin apa-apa."

"Bubur aja gimana? Yang enak nggak usah ngunyah," saran Manu.

Melihat Mada diam saja, Manu langsung mengajak Manggala keluar untuk membeli bubur. Agak susah juga mencari penjual bubur karena sudah lewat tengah hari. Berputar-putar malah mereka hanya dapat capek, panas, dan penjual-penjual bakso keliling.

Akhirnya, Manu membeli bahan-bahan membuat bubur dan semangkok bakso.

Namun, baru masuk pintu kos saja Mada langsung kembali mual. Bau bakso yang tidak begitu menyengat juga membuat Mada mual.

"Coba kalian cari yang lain, kek," gerutu Isvara.

"Ya, apa, loh, kita udah mutar-mutar, tapi nggak ada yang jual bubur jam segini," gerutu Manggala.

"Nggak apa-apa, ngerepotin," ujar Mada.

Manu langsung merebut kunci mobil di tangan Manggala, lalu pergi sendirian. Sepuluh menit kemudian, ia datang membawa telur rebus dan puding susu. Barulah akhirnya Mada mau makan dan berhenti mual.

Setelah kejadian itu, Mada tidak bisa mencium bau-bau menyengat lagi. Ia juga tidak kuat melakukan apa-apa selain baringan di kasur. Badannya lemas dan ketika melihat sesuatu yang agak aneh sedikit langsung pusing. Kuliah yang baru ia mulai lagi seminggu itu, kini ia tinggalkan lagi.

Tentu saja tiga orang itu akhirnya menemani Mada setiap harinya. Sesekali Isvara tidur sana untuk membantu perempuan itu kalau malam butuh apa-apa. Manu hanya bisa mengawasi dari pos kamling seperti sebelumnya.

"Nih, selimut buat lo. Mada yang kasih, katanya takut lo bakal digigit nyamuk." Isvara menyerahkan selimut lumayan tebal kepada Manu sekitar jam 9 malam.

Baru saja Manu kembali dari kos Mada dan bersiap tidur di pos kamling lagi, lalu Isvara datang. Manu berterima kasih dengan suara pelan, lalu menatap selimut itu dengan perasaan terharu. Ikatan mereka tidak akan terputus sekalipun di generasi dan masa berbeda.

"Oh, iya, kayaknya besok gue nggak bisa jaga Mada lagi, sih, soalnya gue harus nyelesaiin riset yang belum kelar. Belum lagi gue ada urusan sama keluarga gue."

Isvara menunduk. Sepertinya ia juga memiliki masalah sendiri yang belum selesai, padahal ia sudah sangat membantu masalah Mada. Dikira sudah beres, ternyata ia sendiri yang belum beres.

"Oalah, nggak apa-apa, sih. Entar gue aja yang jaga dia. BTW, thanks a lot udah bantu sampai detik ini. Gue harap ke depannya lo selalu diliputi kebahagiaan."

Isvara awalnya hendak mengiyakan, tetapi terasa aneh sekali dengan ucapan Manu itu. "Hah, apaan, sih, lo! Aneh banget kayak sambutan kepala sekolah aja."

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang