Semenjak itu, aku tidak bisa percaya kepada semua orang, bahkan diriku sendiri.
***
Setelah memasrahkan diri, Mada mengeluarkan cutter sebagai pembelaan diri. Itu artinya, mama Manu itu masih menyayangi dirinya sendiri. Hendak tersenyum lega, Manu mengendurkan lagi otot pipinya. Belum. Tidak ada yang melegakan di sini. Cutter yang dikeluarkan Mada bukan sebagai pembelaan diri, tetapi diarahkan pada lengannya sendiri.
Keesokan harinya tidak ia temukan di mana pun mamanya itu. Baik di kampus maupun di kos.
Sudah lima jam dua laki-laki itu duduk di pos kamling dekat kos Mada. Sampai ditatap aneh oleh orang-orang yang lewat. Namun, Manggala malah asyik mengajak Manu bermain kartu yang sepertinya sengaja ditaruh di laci pos kamling. Meskipun pada akhirnya Manggala bosan karena lawan mainnya tidak fokus dan selalu ia yang memenangkan permainan.
"Halah, mending pulang nggak, sih? Paling juga doi lagi ke mana gitu, makan enak, kan, nggak akan inget sama lo," ujar Manggala merasa kesal dengan Manu yang sedikit-sedikit melihat ke arah pintu kos Mada.
"Inget. Dia bakal selalu inget sama gue." Dia mama yang baik buat gue.
"Ya udah coba lo samperin. Coba iseng ketuk pintunya. Siapa tahu emang lagi di dalam."
"Iya, juga. Gue takut dia di dalam lagi sakit dan nggak ada yang tahu."
"Makanya. Buruan!"
Manu hendak cabut dari sana saat seorang wanita bertubuh gempal dengan rol pengeriting rambut memenuhi kepalanya, daster merah bunga-bunga, dan bibir berlipstik merah menyala datang menghampiri.
"Mampus," gumam Manu.
Wajah wanita bernama Teh Inna itu terlihat sangat tidak bersahabat. Kedua tangannya mulai berkacak pinggang dan menatap Manu horor.
"Seperti dugaan saya. Ayo, bayar tiga kali lipat karena kamu sudah menunggak tiga hari!" seru wanita itu. Lengannya yang gemuk-gemuk salah satunya mengapung di udara, meminta bayaran dari Manu.
Manggala mendekat, membisikkan sesuatu ke dekat telinga Manu. "Apaan, coy? Lo nunggak kos ke doi?"
Menghadapi ini, Manu tersenyum lebih dulu. "Tenang, Buk—eh, Mbak—eh, Teh. Teman sehidup semati saya ini pasti akan membayarnya. Berapa kali lipat? Tiga kali? Berapa banyak, tuh, uangnya? Mang Gala pasti punya seberapa banyak pun," ujar Manu menyerahkan temannya itu.
"Ngawur lo! Gue nggak ada bawa uang, ya!" seru Manggala kesal. Ia berusaha memukul kepala Manu, tetapi lagi-lagi berhasil ditangkis laki-laki itu. Jelas saja, Manu sabuk hitam karate.
"Santai, lo ada kartu kredit," balas Manu benar-benar santai. Sungguh tidak tahu diri.
"Bah, lo yang harusnya panik karena nggak ada uang, bukannya gue," protes Manggala. Namun, ia langsung berbalik untuk melihat isi dompetnya.
Namun, ibu-ibu itu malah mengulurkan tangannya untuk menjewer telinga Manu. "Makanya dari awal saya nggak percaya sama orang-orang macam kamu ini. Gayanya aja yang ganteng dan modis. Aslinya, mah, sepeser pun nggak punya, makan masih numpang orang tua, kuliah juga nunggak-nunggak, sok-sokan gebet perempuan."
"Aa-aa-aw!" Manu mengaduh kesakitan karena meskipun tubuhnya lebih tinggi, entah energi dari mana wanita itu berhasil menggapai daun telinganya. Ia terlalu meremehkan kekuatan emak-emak sementang ia sudah sabuk hitam. "Eh, Oma jangan sembarangan omong, ya! Gini-gini saya sudah punya usaha dan bisa membeli motor gede sendiri, loh."
Wajah Teh Inna semakin tidak bisa diajak kompromi akibat Manu menyalahkan panggilannya.
"Nyenyenye! Siapa yang kamu sebut oma?! Hah, dasar laki-laki nggak modal!" Wanita itu semakin menguatkan tarikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
Fiction généraleSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...