Dibenci oleh orang lain sudah biasa. Namun, aku dibenci oleh diriku sendiri.
***
Tidak berhenti di sana, Manu masih terus mengikuti ke mana pun Mada pergi. Ke perpustakaan, ke taman yang ramai banyak orang, bahkan menyendiri di dalam kelas. Semua itu Mada lakukan sendiri. Ia tidak berinteraksi atau sekadar tukar pandang dengan orang lain.
Laki-laki itu heran mengapa tidak ada yang menyapa Mada lebih dahulu. Ya, memang, Manu akui Mada agak lain. Wajahnya tidak ramah sama sekali dan sifatnya di masa depan sungguh jelek. Egois dan sering marah-marah tidak jelas. Namun, apakah dari muda sifatnya seperti itu?
Setangkai bunga matahari jatuh ke buku yang dipegang Mada. Perempuan itu sedang membaca buku di kursi taman. Wajahnya sangat serius, tetapi sudah lama tidak kunjung membalikkan halaman.
Manu curiga perempuan itu hanya pura-pura membaca padahal aslinya sedang over thinking. Alhasil ia memetik bunga di taman kampus yang mekar paling lebar dan cantik.
Ia tersenyum manis saat Mada mendongak. Namun, senyumnya luntur seketika melihat raut pucat dan mata menghitam perempuan itu.
"Kamu nggak baik-baik aja. Ayo, kita ke rumah sakit!" seru Manu mengajak Mada begitu saja seolah Mada sudah mengenalnya.
"Gue harus bilang berapa kali, sih, sama lo? Jangan ganggu."
Nyes. Dingin dan menusuk.
Setelah mengatakan hal itu, Mada berdiri, segera pergi dari sana.
"Tunggu! Lo bisa pingsan!" Manu setengah berlari mengikuti langkah lebar Mada.
"Lo siapa, sih? Apa mau lo? Lo suka sama gue? Berhenti buat gue nggak nyaman! Gue nggak suka sama lo!" Mada berhenti, mengucapkan kalimat panjang tersebut, lalu kembali pergi setelah selesai. Masih dengan membawa bunga matahari dan buku bacaannya tadi.
Manu menatap kepergian Mada sendu. Ia kira bisa lebih dekat dengan mamanya itu meskipun di generasi yang berbeda.
"Sabar. Naruto nggak pernah lelah ngejar Sakura. Masih ada hari esok." Seseorang menepuk bahu Manu dan berbicara dengan nada prihatin.
Si wibu yang ia temui di dalam kelas tadi.
"Dia emang kayak gitu, ya?"
"Nggak tau. Nggak pernah liat dia sebelumnya."
Iyalah, batin Manu, orang wibunya akut banget sampai tidak menyadari sekitar.
"Anyway, gue Manggala. Gue bantu lo ngejar cinta lo itu dengan syarat, kasih tau gue spoiler apa kelanjutan dari seri terakhir yang gue baca tadi." Tangan laki-laki berambut gondrong sedikit melewati bawah telinga bernama Manggala itu terulur.
Manu melirik sekilas. Lalu, senyumnya melebar. Ia menjabat uluran tangan tersebut sembari merangkul Manggala. "Gue Ma-Naka. Naka. Panggil aja Naka."
"Manaka?"
"Bukan. Naka aja. Sorry, salah omong barusan."
Ia tidak akan memperkenalkan dirinya sebagai Manu demi kelancaran misinya. Naka juga nama yang bagus. Nama panjang yang diberikan oleh Mada.
"Heh! Kamu yang tadi memetik bunga di sini, ya?!"
Dua laki-laki bertinggi tubuh hampir sama itu menoleh bersamaan. Mereka mendapati seorang pria paruh baya dengan rambut putih sebagian sedang menodongkan gunting taman.
"Hah lo nyuri dari sana?" tanya Manggala memastikan.
Kaki Manu bergeser sedikit karena gugup. "Ca-cabut!" serunya langsung berlari dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...