Dia bilang, jangan lo pikir dunia akan berjalan seperti biasa setelah kepergian lo karena dunia akan kehilangan satu bunga mataharinya yang cantik.
***
Botol-botol plastik bekas minuman bersoda tercecer sembarangan di lantai. Di sampingnya masih ada satu kardus berisi setengah lagi botol minuman bersoda yang masih tersegel. Di tengah dinginnya malam, seseorang sedang duduk bersandar pada tembok pembatas rooftop.
Seorang laki-laki yang memakai kaos putih lengan pendek dan celana jeans panjang. Terlalu lama tidak mandi dan tidak merawat diri, bajunya pun semakin berwarna kecokelatan. Rambutnya yang biasanya belah tengah agak gondrong bagian atasnya, kini acak-acakan.
Rasa stres itu telah menelannya sampai menjadi orang yang berbeda. Namun, seolah tidak pernah ia diizinkan untuk keluar dari lingakaran penuh tekanan itu.
Mungkin, sebagai laki-laki, ketika ia merasa kecewa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menghindar. Tidak ingin berurusan lagi karena sudah telanjur dalam kata kecewa itu mendorongnya ke jurang.
Jika teringat bahwa dirinya adalah anak haram, kepalanya selalu mendidih. Ia ingin marah, mengamuk, dan melampiaskan semuanya. Akan tetapi, entah kepada siapa yang pantas untuk menerima rasa marahnya.
Hingga pagi menjelang, laki-laki itu masih di sana tergeletak seperti tanpa nyawa. Kardus yang awalnya masih tersisa setengah, kini botol-botol itu tinggal hitungan jari saja.
Matanya masih enggan terbuka karena tepat di atasnya terdapat sinar matahari yang menusuk mata. Namun, perlahan ia berkedip menyadari sesuatu tengah menghalangi cahaya tersebut.
"Ka? Lo Naka, 'kan? Ngapain lo?" Manggala menggoyang-goyangkan bahu Manu. "Woy, sadar! Lo masih hidup, 'kan?"
Mau tidak mau mata Manu terbuka lebar. Ia menatap malas Manggala, lalu duduk dengan kaki selonjor. Ia melamun menatap udara kosong.
Manggala duduk berjongkok di samping tubuh Manu yang bersandar di tembok. "Gila lo? Cuma karena satu keburukan yang dimiliki Mada, lo jadi menghapus rasa cinta lo? Itu, sih, cuma penasaran, bukan sayang. Gue kira lo orang tulus yang setia. Ya, gue nggak ngelarang lo buat kecewa, sih, tapi seenggaknya lo lihat dari sisi—"
"Lo nggak tau apa-apa diam aja!" seru Manu memotong ucapan Manggala. Wajahnya masih datar tanpa melirik lawan bicaranya sama sekali.
"Loh, gue bicara bener." Manggala mengambil botol minuman yang masih tersisa sedikit. Ia goyang-goyangkan sampai isinya sedikit berbusa. "Satu kecacatan ngalahin rasa kagum lo yang sebelumnya menggebu ingin memiliki—"
"Iya! Gue emang cuma penasaran, kenapa?!"
Mendengkus, Manggala terkekeh sinis. "Lo cemen banget, tau nggak? Lo yang sangat ingin tau apa dia baik-baik aja, sekarang pas tau dia nggak baik-baik aja lo tinggalin gitu? Gimana bisa orang—"
Mata setajam elang Manu menusuk tepat manik mata Manggala. Ia berbicara cepat. "Gue kecewa karena gue akhirnya tau kalau gue anak haram! Kenapa? Masih mau sok nasihati gue lagi? Apa? Berisik, lo bacot!"
Keras kepala. Anak gen Z seperti Manu memang sekeras kepala itu dan tidak suka mendapat nasihat dari orang lain.
"Hah? Apa maksud lo?" tanya Manggala tidak mengerti arah pembicaraan Manu ke mana.
Bibir Manu terkatup rapat, tidak berniat menjawab. Ia melengoskan wajahnya ke sembarang arah.
Tangan Manggala menepuk bahu Manu yang langsung dihindari laki-laki itu juga dengan tatapan tidak suka. "Yah, terserah lo, deh, gue emang nggak tau apa-apa karena lo ceritanya aja cuma setengah-setengah. Entar kalau kepala lo udah dingin, coba kita bicara baik-baik. Gue nggak maksa lo buat nerima Mada lagi, tapi coba lo pikir matang-matang keputusan lo itu. Lo ambil dari semua sudut pandang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...