29 | Bunga di Jalanan

1 1 0
                                    

Apa kau pikir setelah mematahkan hati orang lain kau bisa hidup tenang? Sama seperti kau memetik bunga di jalanan, lalu kau buang?

***

"Gue udah lihat tanggal berapa, pesawat apa, kursi nomor berapa di tiket kemarin. Nih, buat lo satu." Manggala menyerahkan satu lembar kertas kecil kepada Manu.

Baru saja Isvara ingin bertanya apakah hanya Manu saja yang dibelikan, Manggala juga memberikan kepadanya satu lembar.

"Tenang aja, gue nggak akan lupa sama lo. Kita bakal ke sana bareng-bareng. Gue nggak akan biarkan si Jay mengelabui Mada lagi," ujar Manggala sungguh-sungguh. Matanya seolah berapi-api tidak ingin Jay membuat Mada sakit semakin dalam.

"Lo emang sobat terbaik, Mang," ujar Manu tulus. Ia sungguh ingin bertemu dengan sosok itu di masa depan. Apakah masih sebaik ini? Jadi apakah laki-laki itu di masa depan?

Meskipun dalam hati kecilnya juga meragukan ketulusan itu karena di masa depan saat Mada sedang tidak baik-baik saja, baik Manggala maupun Isvara tidak ada yang datang. Ke mana mereka? Benarkah cerita ini nyata adanya? Atau hanya cerita yang dibuat oleh khayalan alam bawah sadar Manu saja?

"Iya, gue tau gue yang terbaik, tapi jangan manggil gue Mang kenapa, sih? Heran, deh," gerutu laki-laki itu.

"Siap, Mangga-senpai!"

Manggala langsung menerima tos tangan Manu. Ia tertawa puas.

"Idih kalian si wibu nggak jelas!" cibir Isvara. "Terus, menurut kalian, Mada bakal mau nggak?"

Mereka sama-sama berpikir. Benar juga. Dari yang terlihat, Mada sangatlah ragu, seolah keluarganya memang tidak secemara itu.

"Kita harus terus bujuk dia. Kalau nggak gini, gimana nasibnya di masa depan? Dia nggak akan punya siapa-siapa lagi buat tempat cerita. Ya, tentu ada kalian berdua, tapi bisa aja kalian punya kesibukan masing-masing, 'kan?" Manu memberi usul sekaligus sedikit mengutarakan yang menjadi pertanyaan dalam benaknya tadi.

Mereka diam, membenarkan opini tersebut.

"Lah, lo sendiri gimana, Ka?" tanya Isvara.

"Gue?"

"Lo bilang lo kerabatnya Mada?"

1-1 seri. Benar juga. Ia meragukan soal keduanya, tetapi lupa tentang dirinya sendiri yang muncul tiba-tiba tanpa memberi tahu mereka apa yang sebenarnya terjadi.

"Gue ... kerabat jauh. Gue aja nggak tau gimana kabar keluarga Mada di rumah. Yang gue tau, ya, Mada kuliah di sini dan punya kos di sini aja," jawab Manu asal. Ia melirik Manggala di sebelahnya yang diam saja.

"Tapi, gue nggak pernah liat lo sebelumnya deket sama Mada." Isvara masih menyangkal. Meskipun tidak begitu berniat mengorek informasi, tetap saja Isvara bertanya serius.

"Eh, ya itu, sih ..."

"Udahlah, Is, lo nggak usah banyak tanya, bisa?" Manggala menyelesaikan perdebatan mereka yang sudah mulai keluar jalur.

Isvara mengerucutkan bibirnya.

Mereka saat ini sedang berada di gazebo kampus di pagi hari. Mada sedang tidak enak badan. Setelah sarapan, ia ingin istirahat, jadi mereka membiarkan perempuan itu menutup pintu kosnya.

Cuaca yang tidak begitu cerah itu kini diiringi angin sepoi-sepoi. Tanaman berbungaan yang tumbuh segar seolah ikut berpikir bagaimana cara mereka akan membujuk Mada.

"Gue yakin, sih, Mada bakal mau. Dan gue sebagai sahabat Mada, nggak akan pernah ninggalin dia sampai kapan pun. Bagaimana pun keadaannya, gue bakal tetap support dia," ucap Manggala.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang