Begitukah caramu memperlakukan bunga yang sudah kau petik? Setelah benar-benar layu, kau buang begitu saja?
***
Baiklah, Manu akan mengikuti saran Manggala kemarin.
Setelah menginap di rumah besar Manggala dan memakai baju laki-laki itu, Manu berangkat ke kampus dengan santainya. Sebelumnya, ia mampir ke pos kamling dekat kos Mada, melihat apakah perempuan itu sudah berangkat atau belum.
Sekitar setengah jam, Mada tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ia mendapat kabar dari Manggala bahwa perempuan itu sudah berada di kampus.
Saran Manggala; "Seenggaknya lo harus bisa melindungi dia dari kejauhan, memastikan dia baik-baik aja, dan menghargai boundaries yang dia buat."
Manu kira dirinya yang sudah pernah berpacaran beberapa kali—meskipun berakhir kurang mengenakkan—sudah termasuk pakar perempuan. Ternyata Manggala yang wibu akut dan mengaku jomlo seumur hidup itu justru lebih pakar memberi saran soal seperti ini.
"Caranya?" tanya Manu kemarin dengan bodohnya.
"Ya, lo bisa merhatiin dia dari kejauhan. Kalau terlihat mencurigakan dan kejahatan seperti akan mendatanginya, lo bisa mencegahnya. Tapi, jangan sampai lo bikin dia risi."
Manu manggut-manggut. Ia akan coba mengikuti Mada, tetapi tetap memberi perempuan itu space. Mungkin yang kemarin itu ia terlalu tiba-tiba dan memaksa. Padahal menurut Manu sendiri, mendekati perempuan itu paling mudah ketika si perempuan sedang dalam masa kesedihan dan jatuh-jatuhnya. Sepertinya tidak berlaku untuk mamanya itu.
"By the way, ternyata Mada pinter, tapi bloon juga, ya. Bunga matahari, kan, ditanamnya pake biji," celetuk Manggala yang tiba-tiba berada di samping Manu—mengingat bunga matahari yang ditancapkan di tanah berpot kemarin.
Saat ini, tengah hari, kelas sudah berakhir sekitar setengah jam yang lalu. Manu sudah berada di gazebo. Ia bersandar di salah satu tiangnya sembari memegang sebuah buku lumayan tebal. Bukan buku biasa, kamus besar bahasa Inggris yang ia ambil asal dari kamar Manggala tadi pagi. Buku itu ia buka tepat di depan wajah dan di bawah kedua mata. Matanya masih bebas melihat pergerakan Mada yang sedang duduk di kursi taman.
Manu menoleh setengah terkejut dengan kemunculan sosok wibu itu yang tiba-tiba. Diliriknya Manggala juga sedang membaca manga dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain dimasukkan ke saku celana, menirukan gaya Kakashi.
"Lo sekali lagi ngomong sembarangan gue sleding!" gertak Manu tidak terima mamanya dikatakan bloon.
"Kepintaran seorang anak, tuh, berasal dari ibunya. Lo harus cari istri yang pinter, bukan bego," lanjut laki-laki itu.
"Goblok! Lo nggak tau apa-apa mending diem, deh!" Tangan Manu dengan sengaja menyentil dahi Manggala keras-keras.
Manggala hendak membalas, tetapi ditahan oleh Manu. Rupanya Manu lebih gesit dan cekatan.
Berarti Mada pintar, dong, buktinya Manu selalu mendapat juara saat sekolah. Ya, memang pintar, sih. Setiap hari Manu dibelajari oleh Mada di rumah, tanpa les di mana pun.
Akibat menanggapi ocehan tidak bermutu dari Manggala, Manu kehilangan Mada. Perempuan itu tidak lagi duduk di kursi. Tidak ada pula di sekeliling, menghilang begitu saja, lagi.
"Lo, mah, ganggu mulu!" seru Manu kesal dan seperti tidak tahu diri sekali—sudah dibantu malah kurang berterima kasih.
Alhasil Manu segera pergi dari area kampus, membiarkan Manggala masih sibuk menghabiskan bacaannya. Ia berjalan menuju arah jalan pulang Mada. Tangannya mengacak rambut, kesal telah kehilangan sosok itu tanpa sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...