Jika pun aku daun kaktus, tidak akan aku dengan mudah melupakan rasa sakit yang disebabkan oleh orang lain. Sudah dimaafkan pun akan tetap membekas sampai tua.
***
Mulai dari Subuh banget Manu sudah berdiri di pos kamling dekat kos Mada. Ia memakai jaket hoodie yang kupluknya ia turunkan sampai menutupi alis, lalu ia juga memakai masker hitam. Kali ini, akan ia pastikan Mada tidak tahu jika dibuntuti.
Benar saja. Ternyata perempuan itu berangkat pagi sekali. Baru jam 5 sudah memakai baju rapi dan tas punggung. Sebelum keluar, ia menoleh kanan-kiri seperti memang sedang menghindari jika dibuntuti.
Wah, memang pandai sekali mamanya itu. Sengaja berangkat pagi agar tidak ada yang tahu.
Untungnya Manu tidak duduk di kursi kayu pos kamling, melainkan berdiri agak ke belakang agar tubuhnya tidak terlihat. Jadi, sepertinya perempuan itu tidak menyadari keberadaannya.
Manu kira Mada akan ke mana, tetapi ternyata ke kampus. Subuh begini?
Perempuan itu duduk di salah satu gazebo taman. Ia tenang, mendongakkan kepala, memejamkan mata, dan terlihat seperti sedang menikmati udara pagi.
"Mang, Mada ke kampus jam segini," ujar Manu lewat ponsel. Ia langsung menghubungi Manggala ketika dirinya pertama kali melihat Mada tadi, tetapi baru kali ini diangkat.
Terdengar suara serak malas-malasan dari seberang sana berkata, "Mau uji nyali kali." Rupanya laki-laki itu baru bangun tidur.
Omong-omong, Manu jadi teringat jika kampus ini memang memiliki cerita seram dan pernah ada kejadian di tahun berapa gitu. Tentu saja sampai 2029 masih ada cerita tersebut, tetapi tidak banyak lagi orang yang memercayainya.
"Kayaknya gue aman, sih, soalnya dia nggak keliatan waswas sama sekali."
"Terakhir lo bilang gitu malah dikerjain sama do—hooaamm," balas Manggala sembari menguap.
"Beda."
Yang terakhir memang ia terlalu lengah sehingga Mada membuatnya mengikuti sampai gang sepi itu.
Mata Manu masih fokus ke arah Mada, tetapi sesekali ia melihat sekeliling barangkali Mada sedang menunggu seseorang. Selain itu, ia juga waswas, takut jika terus diperhatikan, perempuan itu akan sadar.
"Eh, dia mau pergi, Mang," bisik Manu lagi.
Perlahan perempuan itu beringsut dari sana. Manu melirik arlojinya—sebenarnya milik Manggala yang ia palak—yang menampilkan pukul 6. Sekitar 45 menit Mada duduk di sana tanpa melakukan apa-apa. Lalu, kini pergi keluar area kampus.
"Gue masih di dalam kampus, Bego, jangan tidur lagi lo!" seru Manu panik karena tidak mendapat balasan dari seberang.
Masalahnya, ia berada di area kampus sendirian saat matahari bahkan belum tampak sama sekali. Ia harus menunggu sampai Mada agak jauh agar ia juga bisa keluar. Kalau jaraknya membuntuti terlalu dekat, bisa-bisa gagal lagi misinya kali ini.
Perempuan itu terus berjalan sampai agak jauh dari kampus. Lalu, ia duduk lagi di sebuah halte. Kali ini menunduk. Tas punggungnya ia taruh di atas pangkuannya.
"Sekarang lagi nunggu bus," lapor Manu lagi.
Padahal Manggala tidak butuh laporan itu sama sekali, malah ia sudah ketiduran lagi.
Manu masih bertanya-tanya ke mana perempuan itu akan pergi. Dari tampilannya yang memakai celana bahan berwarna hitam, lalu kemeja biru pastel yang lengannya agak digulung sampai bawah siku, dan sepatu kets berwarna putih. Tas punggungnya tidak terlihat berat, seperti bukan berisi buku-buku. Lalu, rambut panjang sepunggungnya yang ia gelung ke atas menyisakan sedikit poni di dahinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...