Unspoken

2K 251 77
                                    

Minhyung tidak mempedulikan siapapun yang melayangkan tatapan penuh tanya padanya, yang menjadi pusat atensinya saat ini hanyalah Pangeran kecil Lee Donghyuck yang sedang mengerang kesakitan seraya meremat perut bawahnya dengan darah yang masih mengalir.

Minhyung panik, meneriakkan agar segera membawa tabib ke kamar milik Raja yang letaknya tidak jauh dari ruangan Utama, Minhyung menggendong Donghyuck dalam posisi pengantin sembari mengucapkan kalimat-kalimat penenang bagi Donghyuck yang mulai menangis. Putri Renchin mengekori dari belakang disusul oleh Minha yang sejak tadi khawatir—dayang tidak diizinkan masuk ketika pertemuan berlangsung di ruang Utama.

Jeno berdiri di tengah ruangan, dengan sebelah tangan yang masih menggenggam bilah pedang—menyilang di hadapan Taeyong sehingga menghalangi Taeyong untuk melangkah maju.

"Tidak sekarang, samchon."

"Kupikir kau setuju untuk melenyapkan mereka, kau sendiri yang berkata tidak sudi jika bayi itu lahir.."

Taeyong menggeram—jelas marah, sedangkan Jeno mengalihkan tatapan dari Taeyong pada Minhyung yang sudah hilang berbelok arah.

"Ini tidak benar!!! Bagaimana mungkin Pangeran Donghyuck mengandung! Dia pasti dikutuk Dewa atas perbuatan leluhurnya!"

Petinggi Shin, yang menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum berteriak dengan lantang menyatakan pendapatnya. Petinggi Shin adalah salah satu Menteri yang awalnya tidak menyetujui Minhyung, ia berpihak pada Putra Mahkota Mingyu di fraksi kanan, namun terpaksa tunduk setelah melihat rekannya sesama Petinggi dihabisi begitu saja oleh Taeyong menggunakan busur panah.

Jeno maupun Taeyong menyadari adanya pergolakan di antara para Petinggi yang kini mulai terdengar bergumam satu sama lain. Jika Jeno merasa hal tersebut tidak baik, makan Taeyong sebaliknya. Tujuannya memang membuat retakan pada gading. Sehingga pada akhirnya Minhyung harus turun tangan untuk memperbaikinya sendiri. Dengan cara melenyapkan baik Pangeran kecil atajpun bayinya.

Jeno dapat melihat sekilas senyum yang disunggingkan di sudut bibir Taeyong. Jeno menggenggam erat pedangnya, pikirannya benar-benar kacau saat ini. Jeno memutuskan untuk meninggalkan ruangan Utama, sedikit tergesa karena jika ia berada di sana lebih lama mungkin Jeno tidak dapat mengendalikan diri.

Jeno sampai di taman Istana, letaknya tepat bersebrangan dengan kamar Raja. Jeno melemparkan pedangnya sekuat tenaga sehingga menancap vertikal pada pohon kemudian jatuh terduduk di sana. Dirinya lelah. Kembali mengingat kembali apa yang dikatakan oleh seorang wanita tua yang merupakan dayang dari Putri Yongie.

.

"Kau tahu tempat tinggalnya? Jika ya, bawa aku kesana."

Permintaan Jeno membuat Minha terkejut, Minha mengira jika Jeno mungkin akan mengutus prajurit ataupun mendatangkan Eunji ke Istana, tidak menyangka jika ternyata Jeno berkeinginan untuk menemui Eunji secara langsung. Minha terlihat resah, memikirkan apakah keputusannya tepat? Bagaimana jika Jeno malah tidak puas dengan informasi yang Eunji berikan lalu membantai keluarganya?

"Kau dengar ucapanku? Atau telingamu tidak berfungsi karena usiamu?"

Minha tergagap, "Maaf, Tuan Muda... hamba.."

"Kita pergi malam ini. Aku menunggumu setelah matahari terbenam di pintu Utara, pastikan Pangeran kecil atau siapapun itu tidak menyadari kepergianmu."

.

Disinilah Jeno dan Minha, berdiri di depan sebuah hanok—rumah tradisional di lapisan dinding kedua Istana. Terlihat beberapa anak kecil berlarian saling mengejar di pekarangan rumah yang tidak terlalu luas namun tampak lengang tersebut. Jeno berdiri bersandar di pilar kayu rumah tersebut sedsngkan Minha mengetuk pintu. Tidak lama seorang wanita tua—lebih berumur daripada Minha—keluar dan menyambut Minha dengan pelukan.

KINGDOM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang