Jeno membuka mata, ia tidak tertidur sebenarnya. Hanya mengistirahatkan indra penglihatannya dan menajamkan indra pendengarannya.
"Perintahmu sudah turun?"
Sosok yang kini tampak menggunakan setelan jubah hitam dan juga masker kain berwarna senada itu mengangguk. Jeno melihat sekelilingnya, beberapa orang penjaga Pangeran San lainnya sudah tumbang oleh serangan dari prajurit pengawal Pangeran Mingyu. Kekuatannya nyaris tidak setara karena Jeno sebelumnya telah meracuni para prajurit miliknya melalui air minum, membuat para prajurit itu merasa lemas syaraf.
Pangeran San yang sedang terbaring mengerjap, sebagai seseorang yang terlatih, Pangeran San juga memiliki kepekaan yang cukup baik. Nafasnya masih tersengal karena pendarahannya masih belum berhenti sepenuhnya, obat dari tabib Istana hanya memperlambatkan laju aliran darahnya saja.
Netra Pangeran San masih berbayang, tidak yakin dengan apa yang dilihatnya saat ini. Pasalnya, dalam penglihatannya ia melihat gabsa miliknya dan juga seseorang lainnya yang berpakaian serba hitam tampak membahas sesuatu.
Siapa?
Nafas Pangeran San semakin menderu karena merasakan kepanikan melanda, ada yang tidak beres dengan Jaeha. Mengapa Jaeha memegang sebuah belati dan berjalan menuju ke arahnya? Pangeran San ingin sekali menggerakkan tubuhnya namun sayangnya ia tidak berdaya untuk saat ini.
"Sudah siuman? Cepat sekali, ya? Sepertinya fisikmu memang cukup kuat..."
"Ja-Jaeha.."
"Shhhh, anggap saja kau yang paling beruntung dari keluargamu karena kau tidak harus mendengarkan kebusukkan leluhurmu, Pangeran San..."
"Hhhh.. a-apa.."
Jlebb.
Jeno tanpa ragu menusukkan belati yang diberikan Minhyung di dada Pangeran San. Awalnya, Minhyung yang akan menyingkirkan Pangeran San namun Jeno meminta kendali akan hal tersebut pada sang kakak, ingin menjadi yang pertama dalam aksi pembalasan dendamnya. Tikaman di dada membuat netra sang Pangeran yang sedari tadi mengerjap-ngerjap itu membeliak lebar. Jemarinya bergetar dan nafas semakin pendek.
"Kau yang pertama, Pangeran.. ah, kau bahkan tidak pantas menyandang gelar tersebut. Kau dan juga kakak adikmu. Dasar keturunan pengkhianat! Matilah!"
Jleb.
Jeno menarik belati dari dada Pangeran San dan kali ini beralih menancapkannya di leher. Baru saja Jeno akan kembali menarik belati dari leher Pangeran San, Minhyung mencekal dan menahannya.
"Stop! Dia sudah mati."
"Tapi aku masih ingin menusuknya, Hyung..."
"Tahan dirimu, Jung Jeno.."
Jeno mendecih. Tidak hanya Minhyung yang amarahnya seakan seperti monster tidak terkendali jika emosinya memuncak, ssesungguhnya Jeno pun begitu namun dalam artian sadis.
"Bersihkan dirimu dan siarkan kabar kematian Pangeran San secepat mungkin. Bersiaplah Jeno."
Ketika Minhyung dan Jeno berbalik untuk kembali, Taeyong sudah berada di sana. Bersandar di ujung pintu seraya melipat kedua tangan di dada.
"Jeno.. kau oke?"
"Tidak pernah lebih baik dari ini..."
Taeyong terkekeh dan melirik pada ranjang Pangeran San yang kini semakin ternodai oleh pekatnya darah yang mengalir. Sesosok tubuh tidak berdaya yang kini tak lagi bernyawa tergeletak begitu saja, menyisakan gelar dan segala kemewahan yang tidak ada artinya. Taeyong melihat ke sekeliling, mendapati beberapa orang prajurit yang merupakan bawahan Minhyung, mereka menundukkan kepala-tidak mempertanyakan alasan mengapa Pangeran San haruslah disingkirkan karena sebagai seorang prajurit, yang harus dilakukan adalah mengikuti perintah siapapun yang menjadi majikan mereka, dalam hal ini adalah Pangeran Mingyu.

KAMU SEDANG MEMBACA
KINGDOM [END]
Historical FictionPangeran kecil Lee Donghyuck, yang dilahirkan oleh Selir pertama sang Raja Dinasti Joseon begitu menyukai putra dari Petinggi Jung, Jung Minhyung. "Kuberikan giok ini untukmu, Minhyung.. di kunjungan berikutnya, kau yang harus memberiku hadiah." Se...