27. Pindahan

66 42 23
                                    

Tok tok tok!

Ketukan pintu itu berhasil membangunkan tidur seorang pemuda. Dengan malas pemuda itu pun terbangun dari tidurannya di sofa. Penampilannya yang berantakan tak ia pedulikan. Ia terus melangkah menuju pintu untuk memeriksa siapa yang datang. Kunci yang ia putar dan matanya masih setengah terpejam karena rasa kantuknya. Tepat saat pintu terbuka dan mulutnya kembali menguap lebar.

"Jam segini udah tidur aja." Ucapan itu lantas membuatnya tersadar. Matanya yang membulat memandang penuh keterkejutan sosok di depannya.

"Kak Binar?" Masih tak percaya bahwa yang datang itu sang kakak lantas Aldino pun mengusak-usak matanya sebelum kembali memfokuskan pandangan.

"Ngapain lo ke sini?" Pertanyaan yang diajukan berhasil membuatnya mendapat pukulan pelan.

"Ya pulang lah, Al. Ngapain lagi coba?!" Ketus Binar seraya mendorong kesal kopernya ke dekat kaki Aldino.

"Kenapa? Lo gak seneng ya gue pulang?" Tanyanya membuat Aldino segera menggeleng ribut.

"Eh, nggak-nggak. Bukan gitu maksud gue. Malahan gue seneng banget lo pulang." Sanggahnya. "Gue cuma heran aja kenapa lo pulang larut kayak gini. Mana bawa koper segala lagi." Lantas tatapan Aldino kembali turun memandangi koper itu.

"Lo lagi libur kerja ya jadi nginep di sini?" Pemuda itu kembali menerka.

"Bukan, Al. Gue ke sini beneran pulang. Bukan sebatas nginep karena lagi libur. Gue gak tinggal lagi di rumah itu."

"Maksud lo?"

"Nanti gue jelasin. Biarin gue masuk dulu. Dingin nih." Jaket yang ia eratkan merasakan udara yang begitu dingin. Binar kembali menyeret kopernya membawanya masuk menuju ruang tengah. Aldino ia biarkan menyusul.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Binar baru sadar akan hal itu. Pantas saja jika Aldino sudah tertidur pulas seperti tadi. Memang dasar dirinya yang tidak memperhatikan waktu. Selama di perjalanan tadi ia terlalu sibuk memikirkan mengenai keputusannya mengundurkan diri.

Tidak bisa dipungkiri sebenarnya ada rasa tidak enak di lubuk hatinya terhadap Zhou. Namun apa boleh buat dirinya sudah tak mungkin lagi bekerja pada lelaki itu. Sudah cukup jauh dirinya terseret ke dalam arus permasalahan keluarga Alatas. Sebelum semuanya semakin tak terkendali maka ia pun memutuskan pergi seperti ini.

"Jadi, lo ngundurin diri?" Kedua siku yang bertopang di lutut. Aldino masih menatapnya penuh penasaran.

"Kenapa?" Tanyanya lagi seraya merapikan kaos oblongnya.

"Pengen aja." Jawab Binar singkat.

"Cih! Alasan apa itu kak karena pengen aja?!" Aldino tertawa hambar tentu tak percaya alasan itu.

Meski begitu Binar tak peduli. Ia tak menjelaskan apapun lagi membiarkan Aldino puas dengan jawaban itu. Karena apa yang menjadi alasannya tak mungkin ia ceritakan secara gamblang. Keadaan akan semakin runyam jika dirinya menceritakan semuanya. Ia tak mau Aldino dan Darren semakin murka pada Zhou yang pada akhirnya membuat mereka datang ke rumah lelaki itu untuk memberinya pelajaran. Menurutnya keluarga Alatas tak seharusnya mereka sentuh.

Pandangannya yang kemudian mendongak menatap Darren yang baru tiba. Keterkejutan tampak begitu jelas di raut wajah yang lelah itu.

"Kamu datang jam segini kenapa gak minta Dino buat jemput kamu?" Darren mengambil duduk di seberangnya lalu memperhatikan koper yang teronggok di dekat kakinya.

"Sengaja om, biar kejutan." Senyuman yang ia tunjukkan sekedar topeng belaka untuk menutupi kekalutan pikirannya.

"Lain kali kalau pulang larut kayak gini minta Dino buat jemput. Om khawatir, takut kamu kenapa-napa di jalan." Darren masih dengan raut khawatirnya menatap Binar yang hanya tersenyum.

Be your priority | Obsession; Love and hate (New story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang