Bani Hanif Ashraf
Gue mengusap air mata gue yang jatuh saat gue sedang melamun sambil memandang pemandangan perjalanan dari kereta yang gue tumpangi karena teringat dengan keluarga kecil yang gue tinggalkan jauh di sana. Isteri dan anak-anak gue.
Pukul 3 pagi tadi gue bangun dari tidur gue yang gue pikir akan nyenyak sampai subuh nanti, tapi mimpi buruk itu malah datang, membuat gue terjaga bersama dengan suara-suara yang gak berhenti berbisik di telinga gue.
Suara-suara yang bukan cuma minta tolong aja, tapi juga suara-suara yang menyalahkan gue atas semua yang terjadi. Tentang Bina kakak gue, tentang Celline, tentang keluarga kecil gue. Dini hari tadi gue dibuat sampai keringat dingin dan sesak napas karena merasakan berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran.
Takut kalau gue betulan bersalah karena gak becus menolong kakak gue.
Takut kalau apa yang menimpa Celline benar-benar karena gue.
Takut kalau gue mulai hilang kewarasan dan gak bisa lagi menjaga keluarga kecil gue.
Takut menyusahkan keluarga gue karena mereka harus mengurus gue yang sangat merepotkan ini.
Saat gue mencoba mengontrol diri, berusaha untuk gak mengeluarkan suara agar gak mengganggu tidur isteri dan anak gue, gue justru dibuat semakin gak karuan karena perasaan bersalah gue ketika menatap mereka secara bergantian.
Beberapa hari ini gue sedang mempertimbangkan apakah gue harus pergi ke luar kota untuk menemui psikiater gue atau enggak, tadinya gue mau izin secara jujur sama isteri gue, tapi melihat kemarin malam saat dia menemani gue yang gak bisa tidur, membuat kesehatan kandungannya jadi terganggu karena begadang itu, gue cuma mikir gimana kalau makin banyak effort dari mbak Bina untuk gue nanti kalau gue pergi ke psikiater ke luar kota dengan izinnya, bagaimana kalau isteri gue itu berkorban lagi untuk gue?
Udah cukup. Udah cukup gue banyak merepotkannya.
Jadi akhirnya, dini hari tadi gue memutuskan untuk pergi sendiri dengan kereta yang sudah gue booking di hari kemarinnya secara diam-diam. Iya. Dasarnya emang udah punya niat pergi, cuma masih labil aja, hingga keputusan final adalah dini hari tadi.
Gue memukul dada gue sendiri, berusaha membuat organ di dalam dada gue itu bisa bekerja kembali normal. Gue tarik napas gue lalu gue hembuskan secara perlahan untuk menenangkan diri gue sendiri.
Gue sempat tersentak ketika ada pergerakan dari mbak Bina, gue kira dia akan bangun tapi ternyata cuma berbalik pindah posisi, karena itu gue pun bernapas lega.
Setelah merasa lebih tenang, gue kembali berbaring, memeluk mbak Bina dari belakang, memejamkan mata lalu berbisik sangat pelan, "Sayang..... aku pergi ya? Aku janji aku bakal balik tapi kalau aku udah benar-benar sembuh. Selama ini aku baik-baik aja karena ada kamu buna, tapi ternyata aku gak bisa baik-baik aja dengan berdiri sendiri sedangkan aku gak bisa terus-terusan nyusahin kamu. Maafin aku ya?"
Gue kecup kepala belakang mbak Bina sambil berusaha menahan dada gue yang kembali sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
FanfictionEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.