Bani Hanif Ashraf
Kembali dengan gue bersama dengan tempat favorit gue selama di rumah sakit ini. Tolong jangan suudzon dulu, karena kali ini gue sendirian, gak sama mbak Naya. Gue baru aja menyelesaikan konseling gue bersama dokter Levin terkait gejala yang ia sebutkan semalam bahwa gue diduga punya masalah mental lain selain PTSD, yakni depresi. Dokter Levin menduga gue mengalami major depressive disorder, tapi untuk kepastiannya gue masih menunggu hasil pemeriksaan.
Dan sekarang, seperti biasa setelah konseling gue selalu merasa sedih dan kalut luar bisasa. Semuanya menjadi satu, rasa rendah diri, rasa bersalah dan penyesalan bahkan sampao rasa benci pada diri sendiri semuanya bergabung menjadi satu.
Perintah dari dokter Levin semalam juga masih terus terngiang di kepala gue, "Saya harap kamu cepat-cepat kabarin keluarga kamu, setidaknya sebelum kamu yang dapat kabar isteri kamu punya pria lain."
Sambil memikirkan itu, tangan gue sudah menggenggam ponsel milik gue sendiri yang selama ini gue matikan. Iya. Satu bulan ini gue full gak pegang handphone, bukan yang ganti handphone atau ganti sim ya, totally memang gak pegang handphone sama sekali dan hari ini adalah yang pertama kali setelah 1 bulan.
Pertama kali layar menyala, ponsel gue udah langsung bergetar karena notifikasi pesan masuk yang banyak banget. Bahkan pesan dari mbak Vany yang padahal kita gak pernah chat-an bareng kecuali tentang isteri gue aja sampai hampir 500 chat darinya.
Banyaknya tentu aja dari mbak Bina. Udah gak keitung lagi seberapa banyak dia kirim pesan, nanti bakal gue baca dari atas, tapi buat sekarang gue salah fokus dengan 2 pesan terakhirnya hari ini.
Yang satu pesan suara, satu lagi pesan teks.
Dengan jemari yang bergetar gue memutar pesan suara tersebut.
"Yayahhh..... dimanaa? Keenan jemput ya."
Tangis gue tumpah saat itu juga.
Ya Allah....
Anak gue.
Kangen banget.
Lalu pesan teks dari mbak Bina yang isinya:
Bani.... aku kangen.
Dan gue mulai terisak.
"Buna.... aku kangen juga."
"Kangen banget bun.... sumpah."Ah, ini yang gue gak mau dari buka handphone tuh. Gue jadi pengen pulang sekarang juga.
Gue langsung menutup wajah gue sendiri karena rasanya gue ingin menangis sekeras mungkin.
"Huaaaa hiksss..... kangen buna...."
gue terisak semakin kencang, bahkan udah gak peduli kalau mungkin aja ada yang ngeliatin gue, toh hal begini bukan sesuatu yang aneh kan? Mengingat gue ada di rumah sakit jiwa."Eh... eh.... mas Bani kenapa?" Wajah nangis jelek gue tunjukan pada seseorang yang datang menghampiri gue.
Mbak Naya.
"Kangen mbak..." gue masih sesegukan sambil mengelap air mata gue sendiri.
"Hah? Kangen saya?"
"Bukan."
"Kangen buna....""Oh.... kangen ibunya mas Bani?"
"Bukan."
"Itu iya juga, tapi bukan.""Aduh... mas Bani... mas gak makin parah kan mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
FanficEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.