Bina Maira Ranjani
"Terima kasih dokter Levin."
"Sama-sama mbak Bina, kamar Bani disitu ya mbak, saya harap kalian bisa bicara baik-baik, dan tolong ingat ucapan saya tadi ya mbak, kalau begitu saya permisi."
Dokter Levin yang gue tau dokternya Bani menunjuk sebuah kamar setelah kami bicara berdua di ruangannya.
Gue membalas ucapannya dengan anggukan sebelum dokter Levin pamit pergi.
Sambil menatap kamar Bani, gue berjalan pelan untuk mendekat ke arahnya. Dan ketika sudah sampai di depan pintu, dengan sedikit ragu gue membuka pelan pintunya dan menampakan Bani yang sedang duduk di tepi kasur menghadap jendela.
Hanya dengan menatapnya kayak gini aja, hati gue berdenyut. Apalagi mengingat semua penjelasan dokter Levin tentang dia. Bani terlihat sangat kurus dari terakhir kali gue melihatnya, pipinya tirus, gak ada lagi air muka ngeselin yang biasanya dia tunjukan, yang ada hanyalah raut wajah sendu, gelisah, sedih dari wajah Bani.
Kalau kalian penasaran gimana caranya gue berakhir di sini, gue ceritakan nanti. Sekarang, gue mau menghampiri suami gue dulu yang malang itu.
Gue mendekat, tapi bukan untuk duduk di sampingnya melainkan berdiri di depannya.
Mata gue menatap lekat wajah Bani, mata gue berhenti pada pipi tirusnya yang tampak merah, bekas tamparan gue tadi masih ada bekasnya, memang sekeras itu, saat menamparnya pun gue ikut merasakan sakit di tangan.
Tangan gue terkepal, ucapan dokter Levin mulai kembali terngiang lagi di kepala gue.
Bani jauh dari baik-baik aja mbak Bina.
Di samping PTSDnya Bani mengalami depresi yang bahkan bisa saya bilang cukup berat
Karena kalau enggak, dia gak akan kabur gitu aja dari mbak dan keluarga yang lain
Pergi tanpa kabar begitu, cuma bisa dilakukan sama dua jenis orang, orang yang emang gak sayang keluarganya dan dia emang brengsek aja, atau justru orang yang terlalu sayang sama keluarganya tapi dia sangat putus asa karena merasa gak bisa jadi suami dan ayah yang baik. Menurut mbak, Bani yang mana?
Di depan Bani gue mulai terisak lagi sambil menunduk, perasaan gue campur aduk, gue mau marah, tapi gue gak sampai hati pada Bani yang sesuai dugaan gue kalau dia pergi karena masalah kesehatan mentalnya..
"Sayang...." hati gue kayak dicubit waktu mendengar Bani memanggil gue begitu.
"Jangan panggil saya kayak gitu!" gue memekik.
"Karena kamu bohong kan? Kamu gak sayang sama saya! Kamu gak sayang Keenan! Kamu gak sayang si adik yang ada di perut saya! Kamu gak sayang kita semua kan Bani?""Enggak buna.... aku sayang kalian. Aku sayang banget sama kalian. Maafin aku ya."
"Kalo sayang kenapa kayak gini? Kenapa kamu pergi gitu aja tanpa kabar?"
Gue terisak kencang, gue histeris di depan Bani.
"Maaf udah kurang ajar buat ninggalin kalian gitu aja. Maaf buna...."
"Aku emang suami yang payah!"
"Aku ayah yang buruk!"
"Aku.... emang udah beneran gila buat ninggalin kalian."
"Tapi..... tapi bukan karena aku gak sayang sama kalian..."
"Aku sayang....."
"Demi apapun aku sayang banget sama kalian bahkan jauh diatas sayang sama diri aku sendiri. Kalian yang nomor 1 di hidup aku buna."
"Tapi aku merasa aku gak bisa jadi nomor 1nya kalian, aku gak bisa diandalkan, aku suami gak becus, aku ayah yang lemah. Aku ini.... hiks... buna...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
FanfictionEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.