Bina Maira Ranjani
Gue membuka mata dan langsung disambut oleh cahaya terang lampu di langit-langit kamar, saat gue lihat sekitar, sepertinya ini... kamar rumah sakit.
Saat menunduk sedikit gue baru sadar kalau ada sosok yang sedang duduk dengan menelungkupkan wajahnya disisi kasur yang gue tempati.
Itu Bani.
Tentu gue mengenal suami gue sendiri.
Gue menghembuskan napas lega, masih bisa melihat dia di hadapan gue, tadinya gue pikir yang tadi hanyalah mimpi saat Bani memaksa masuk ke rumah sakit yang terbakar hanya demi menyelamatkan orang lain, tapi saat melihat wajah cemongnya, gue berbalik jadi lebih yakin kalau yang tadi bukan lah mimpi. Tenggorokan gue aja terasa kering akibat terlalu banyak meneriaki namanya kan?
"Sayang?" Bani menyadari kesadaran gue meskipun gue belum bergerak ataupun bersuara.
"Aku panggil dokter dulu ya?""Ngapain?"
"Periksa kamu."
"Ngapain kamu di sini?"
"Buna... kok gitu?"
"Kok gitu? Kamu yang kok gitu?!" Gue udah gak bisa ramah lagi sama Bani, kejadian tadi benar-bener membuat gue gak habis pikir, kecewa dan marah. Kemarahan gue kali ini bahkan lebih besar ketimbang kemarin. Saat Bani kabur gue masih bisa mengerti, gue bisa menebak alasannya, tapi sekarang gue angkat tangan, gue gak tau apa lagi yang Bani pikirkan saat dia merelakan diri dan bertaruh nyawa hanya demi seseorang yang ia kenal hanya 1 bulan ini. Atau memang mereka punya hubungan spesial? Gue yang tadinya gak mikir sama sekali perihal itu sekarang mulai tumbuh kecurigaan.
"Sayang..." dia mencoba meraih tangan gue tapi gue hempaskan, gue bangun untuk duduk di atas kasur, lalu gue dorong ia yang tadi sudah berdiri hingga terjatuh lagi ke atas kursi yang ia duduki sebelumnya.
"Waktu kamu masuk ke dalem, terbesit gak sih di pikiran kamu tentang isteri dan anak-anak kamu?"
"Waktu kamu ngorbanin diri kamu buat nolong orang lain, kepikiran gak kalau kamu mati, gimana isteri dan anak-anak kamu?"
"KAMU MIKIR SAMPAI SANA GAK?" gue mulai berteriak."KAMU BERASA SUPER HERO BANI BISA NOLONGIN ORANG KAYAK GITU?"
"KAMU MIKIRIN ORANG LAIN TAPI KAMU PIKIRIN RESIKO DARI APA YANG KAMU LAKUKAN GAK?"
"KALO KAMU GAK KEBERATAN BUAT MATI, YA TERSERAH, TAPI JANGAN EGOIS DONG, KAMU INI UDAH PUNYA AKU, UDAH PUNYA KEENAN, DAN AKAN PUNYA SI ADIK."Emosi gue pecah, gue terus memekik sambil menjenggut rambut gue sendiri, sendangkan Bani cuma bisa menunduk.
"Kamu beneran mau bikin aku masuk rumah sakit jiwa juga ya Bani?"
"Mbak, enggak sama sekali, tadi aku...." dia bersuara sangat pelan tapi langsung gue potong.
"KAMU LEBIH BAIK MENGORBANKAN DIRI KAMU BUAT ORANG LAIN KETIMBANG DENGERIN ISTERI KAMU YANG KHAWATIR, SANGAT KHAWATIR DAN TAKUT KEHILANGAN KAMU," gue mengucapkannya dengan nada yang kembali tinggi dan penuh penekanan.
Bani kembali diam.
Gak boleh. Gue gak boleh nangis lagi, tapi sekarang suara gue mulai bergetar,
"Jangan-jangan selama ini emang aku, Keenan dan si adik gak ada artinya lagi ya buat kamu?"
"Kamu kok bisa gampang banget ya ambil keputusan yang beresiko bikin kita kehilangan kamu?"
"Kamu tuh gak masalah ya kehilangan kita?"
"Iya gapapa Bani, tapi akan jadi masalah kalau aku dan Keenan yang kehilangan kamu.""Mbak, aku minta maaf, aku lupa soal kamu yang punya memori buruk sama kebakaran."
"Bani... ada atau enggak memori buruk itu, aku pasti tetap takut suami aku nerjang kebakaran, pertaruhin nyawanya buat orang lain!"
"Kamu masih gak paham atau pura-pura gak paham kalau kamu ini udah sepenting itu di hidup aku?"
"Kalau gak mau sama aku lagi bilang Bani!"
"Kalau kamu udah suka sama mbak Naya itu, bilang aja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
FanfictionEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.