19

58 15 19
                                    

Bina Maira Ranjani

Pulang ke rumah gue langsung di sambut oleh Keenan bersama dengan ibu di belakang, iya, ibunya Bani. Sudah 2 minggu ini ibu tinggal di rumah bersama gue dan Keenan untuk menemani kami. Gak jarang juga ibu menangis sambil meminta maaf pada gue atas perilaku Bani yang menurutnya tidak bertanggung jawab itu.

Gue sendiri masih gak mau menghakimi apa yang Bani lakukan ini, karena gue masih gak tau alasannya. Katain aja gue bodoh, tapi entah kenapa gue masih percaya kalau Bani gak mungkin meninggalkan gue dan Keenan semudah itu, dia pasti punya alasan dan alasan yang selama ini gue pikirkan adalah karena masalah mentalnya. Entah dia memang ingin mengasingkan diri untuk lebih tenang, atau dia memang sedang mengobati dirinya, yang pasti gue masih yakin kalau Bani gak pergi untuk benar-benar meninggalkan kami.

Dan kalau ada yang ingat Bani pernah bilang.

"Jangan bosen-bosen kasih tau aku kalau aku salah. Jangan bosen buat temenin aku juga."
"Dan..... kalau aku hilang, jangan bosen buat cari aku ya."

Kalimat itu yang selama ini mengisi kepala gue sejak Bani pergi. Gue jadi langsung mikir kalau Bani sebenarnya sudah lama merencanakan pergi atau bisa gue bilang kabur ini, balik lagi itu semua karena dugaan masalah psikis Bani, maka dari itu selama satu bulan ini gue masih mau berusaha untuk mencarinya dan gak mau menghakimi Bani dulu atau bahkan membencinya. Gue justru sangat khawatir, bagaimana keadaan Bani di sana? Apa dia baik-baik aja? Apa ada yang nemenin dia? Apa dia makan enak? Dan... apa dia juga kangen gue juga Keenan kayak kita kangen sama dia?

"Bani itu jahat banget ya, kok bisa dia ninggalin isterinya yang lagi hamil kayak gini, dan anaknya yang masih kecil. Kerjaan juga ditinggal gitu aja, ada apa sih sama anak itu sebenernya?"

Ibu kembali mengomel entah pada siapa, ya harusnya pada Bani, tapi kan orangnya gak ada.

"Kalau emang si Bani gak balik lagi, sama Janu aja lah Bina," gue terkejut ketika ibu mengatakan itu dengan nada yang sangat marah. Mungkin ibu begini karena benar-benar gak habis pikir sama Bani, semua yang dilakukan Bani sekarang masih gak masuk akalnya ibu karena ibu memang belum tau perihal keadaan Bani yang sebenarnya sebelum dia pergi, ditambah lagi tadi ibu lihat gue pulang-pulang kesakitan dan diantar oleh Janu.

"Ibu jangan ngomong gitu, Bina masih percaya Bani pulang."

"Bina, kalaupun dia pulang, gak pantes dia dapet maaf kamu. Buat ibu dia udah keterlaluan, gak ada alasan jelas tiba-tiba pergi, ninggalin anak-isteri, orangtua, kerjaan. Udah gak waras anak itu."

Mendengar kalimat terakhir ibu, dada gue nyeri. Ingin menyela rasanya, gimana kalau Bani justru pergi untuk mencari kewarasan? Tapi yang bisa gue lakukan hanyalah menghela napas, lalu tiba-tiba berpikir bahwa kayaknya gue harus jujur pada ibu tentang Bani.

"Ibu...., Bina mau jujur sesuatu."

"Apa?"

"Bani itu sebelum pergi... dia jauh dari baik-baik aja. Trauma Bani dateng lagi, dia bahkan sampai dapat halusinasi suara. Dia sering mimpi buruk lagi. Dia banyak dapat serangan panik lagi. Semuanya itu terjadi setelah lihat Celline bunuh diri di depan mata dia."

Mendengar penjelasan gue, ibu langsung menutup mulutnya dengan mata membola, "Hah? Celline bunuh diri? Kapan? Dan kenapa Bani bisa lihat?"

Gue menghela napas sekali lagi, sebelum membuka semua ceritanya dari awal.

"Astagfirullah, kenapa gak ada yang bilang sama ibu?" Persis setelah gue menceritakan semuanya, tangis ibu pecah.

Echoes (Bina & Bani 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang