Bina Maira Ranjani
Membaca pesan dari Bani, gue langsung bak-bik-buk repot sendiri membereskan meja gue untuk bersiap pergi menghampiri Bani. Tadinya gue lagi sibuk periksa laporan, tapi semuanya langsung gue tinggalkan karena pikiran gue langsung berpusat pada suami gue itu.Sebelum keluar dari ruangan gue sempat menelpon Bani, tapi sama dia gak di angkat, apa gak makin khawatir. Jadi tanpa ba-bi-bu lagi gue pun langsung berniat pergi.
Gue keluar dari ruangan gue secara terburu-buru, dengan langkah cepat, sampai gue yang pakai heels ini tiba-tiba...
"Aduh..."
Iya... keseleo.
"Hati-hati bu," gue menoleh pada seseorang yang memegang tangan gue, dan berhasil menahan gue agar tidak limbung sampai jatuh. Betul, dia Janu.
"Iya, makasih Janu."
Setelah dibantu berdiri tegap lagi oleh Janu, tadinya gue mau langsung pergi tapi langkah gue tertahan karena kaki gue yang sakit untuk dibawa melangkah.
"Ibu mau kemana?" Tanya Janu yang harus memegangi gue lagi karena tubuh gue kembali nyaris oleng karena kesakitan.
"Mau ke kafe suami saya," jawab gue.
"Mohon maaf bu, apa kesana itu ada hal penting? Kalau bisa lebih baik nanti dulu, sepertinya kaki ibu sakit dan harus diobati dulu."
"Saya gapapa, suami saya lebih penting, dia lagi butuh saya."
"Kalau gitu biar saya antar aja ya bu?"
"Gak usah, Janu, nanti--," omongan gue yang baru mau bilang, nanti gak enak sama Bani terpotong oleh ucapan Janu.
"Kalau pak Bani marah biar saya yang ngomong nanti, dari pada ibu ke sana sendirian dengan kaki sakit begitu, apalagi ibu juga lagi hamil."
Gue sempat diam untuk berpikir, kalau di sikon kayak gini barulah gue mikir kalau lebih baik sekertaris gue perempuan karena dengan begitu gue gak perlu sungkan jika butuh bantuan sekertaris gue yang memerlukan kontak fisik.
"Boleh deh, anter saya ke sana, Janu," jawab gue pada akhirnya karena kayaknya gue gak bisa menyetir dengan kaki gue yang seperti ini.
"Sebentar bu, saya ambil sendal dulu ya buat ibu," Janu langsung pergi begitu aja tanpa menunggu jawaban gue sebelum dia kembali dengan sepasang sendal jepit.
"Kalau ibu sungkan saya papah jalannya, ibu bisa pake sendal ini biar jalannya lebih mudah," ucap Janu.
Ide bagus.
Gue pun gak menolak dan menerima sandal jepit berwarna hitam milik Janu ini.
"Kalau begitu mari bu, kita pergi."
"Makasih Janu."
Janu hanya tersenyum kecil sambil membungkuk sedikit, "Bukan masalah, bu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
FanfictionEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.