09

73 14 10
                                    

Bani Hanif Ashraf

"Huaaa... Bani... udahan plis.... sakit!!!!"
"Nek.... jangan kenceng-kenceng."

Krek...

"AAAAKKKKK...."

Gue menahan tawa gue ketika melihat mbak Bina sedang diurut oleh nenek Sum, yakni tukang urut terkenal di komplek ini. Sebenernya mbak Bina  gak mau diurut, tapi diam-diam gue telpon nenek Sum untuk datang, karena isteri gue itu termasuk orang gak enakan, jadi kalau nek Sum udah dateng kan mau gak mau dia diurut karena dia gak mungkin sampai hati untuk mengusir nenek Sum yang sudah datang.

Kalau ada yang tanya, kenapa gue kekeuh buat mbak Bina diurut sama nenek Sum, karena gue sendiri pernah diurut sama beliau. Jadi ceritanya kami lagi nengokin rumah ini yang masih dalam proses renovasi saat itu, lalu mbak Bina yang lagi hamil Keenan gak sengaja lihat pohon mangga di depan rumah tetanggannya dan tiba-tiba dia bilang kalau dia kepingin mangga itu yang membuat gue akhirnya memanjat pohon mangga tersebut dan berakhir.... iya... jatuh. Dari situlah akhirnya gue diurut nek Sum setelah disarankan oleh si pemilik pohon mangga, dan pinggang gue yang sakit akibat jatuh itu gak lama langsung sembuh, makanya mbak Bina pun gue percayakan pada beliau sekarang. Gue mau mbak Bina cepet sembuh.

"Udahan... Yah... plis bilangin nenek Sum udahan, sakit banget huhu!!!" Mbak Bina yang duduk berselonjor di samping gue ini dari tadi gak mau melepas cengkramannya pada tangan gue sampai tangan gue berbekas kena kukunya. Sakit sih... tapi gue gak masalah. Itung-itung ngerasain vibes nemenin isteri lahiran normal, karena waktu melahirkan Keenan, mbak Bina melakukannya dengan operasi caesar.

"Bentar lagi mbak," itu bukan gue yang menjawab tapi Nek Sum.
"Udah mulai gak sakit kan?" Tanya Nek Sum lagi.

"Masih, sedikit."

"Iya, lama-lama nanti hilang."

"Sabar Yang...." ucap gue sambil mengusap punggung tangannya yang masih ada di lengan gue itu.

Gak lama, akhirnya Nek Sum pun selesai, bisa dilihati dari mbak Bina yang langsung bernapas lega dan menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Makasih ya Nek," ucap mbak Bina pada Nek Sum.

Nek Sum mengangguk, dia menepuk-nepuk pundak isteri gue sambil bilang, "Sehat-sehat terus ya mbak cantik..."

"Makasih Nek...."

"Kalau gitu nenek pulang dulu," ucap Nek Sum setelah menyeruput teh yang gue siapkan dari awal tadi.

"Eh, enggak ntaran aja nek?"

"Sekarang aja mas, biar mbaknya bisa istirahat."

"Makasih ya Nek," sekali lagi gue berterimakasih.

Gue pun mengantar Nek Sum ke depan di mana cucunya sudah menunggu untuk menjemput Nek Sum setelah memberinya amplop berisi sedikit uang untuk membayar jasa urut nek Sum tadi. "Pulang dulu mas," akhirnya ucapan pamitan itu pun membawa Nek Sum pergi.

Setelah kepergian Nek Sum, gue kembali ke dalam, menghampiri mbak Bina yang masih bersandar di sofa.

"Udah enakan?" tanya gue mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Mendingan."
"Bani, coba tengokin Keenan gih, anak itu kok kuat banget tidurnya, belum bangun-bangun," perintah mbak Bina. Oh iya, si gembul itu belum bangun-bangun dari tadi siang sampe sekarang udah sore.

Baru aja gue sampai di depan pintu kamar, tiba-tiba anak gue itu muncul dari balik pintu kamarnya sambil mengucek-ngucek mata yang sangat memperlihatkan kalau dia memang baru bangun tidur. Keenan memang sudah punya kamar sendiri di bawah, kamar yang dulu gue tempati saat awal-awal menikah, tapi kamar itu baru dipakai kalau Keenan tidur siang aja, di malam hari Keenan masih tidur sama kami berdua tapi dengan kasur kecilnya sendiri di atas.

Echoes (Bina & Bani 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang