Bani Hanif Ashraf
Sesampainya di Jakarta, gue langsung dijemput sama bang Janu dengan mobilnya. Dalam perjalanan, bang Janu gak banyak tanya, gue juga menghabiskan waktu perjalanan dari bandara ke rumah dengan tertidur.
Sampai di rumah, gue sudah mendapati semuanya mengumpul di sini, kecuali mama dan Keenan.
Tentu aja gue disidak di sana, ibu menyerang gue dengan pukulan yang terasa sakit tapi ketika mata gue bertemu dengan mbak Bina, sakit itu jadi berpindah ke dada gue. Tatapan tajamnya, menatap gue kecewa dan penuh luka sebelum ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Ditanya cerita versi gue, rasanya gue gak sanggup menjelaskan. Gue gak mau terdengar mencari kebenaran di saat diri gue memang sudah pantas di salahkan.
Jadi yang gue bisa hanya minta maaf, khususnya pada papa dan mama karena anaknya terus gue sakiti.
"Aku mau minta maaf sama papa dan mama, karena udah bikin puteri kalian satu-satunya kesulitan, dan sedih terus, aku juga masih belum becus jadi ayahnya cucu kalian. Aku minta maaf Pa...., kesalahan aku ini bahkan udah sangat pantas untuk dibalas dengan perceraian."
Apa yang keluar dari mulut gue memang benar. Kalau pun gue dihukum dengan perceraian, itu sangat masuk akal kan? Hati gue patah saat mbak Bina bilang kalau dia bukan hanya marah dan kecewa sama gue tapi juga... sakit hati. Gue sudah menyakitinya.
Bugh
Pukulan itu gue dapatkan kembali, kali ini dari ayah.
"Jaga bicara kamu, laki-laki itu kalo udah keluar kata cerai bisa cerai beneran!"
"Memang mau cerai dari aku kali Yah? Kalo emang mau, tinggal siapin aja dokumennya," gue cukup terkejut ketika isteri gue itu bicara dengan lugas seolah gak ada keraguan di sana.
"Eh!!! Kalian apaan sih?" Gue terus menatap mbak Bina sampai menghiraukan kehadiran mama yang datang dari kamar.
"Bener kan Bani? Kamu mau cerai dari saya?" Pertanyaan itu seolah palu keras yang memukul hati gue tanpa ampun. Sakit banget dada gue sampai gue gak sanggup menjawab.
"Bina capek, baru sampe, masih lemes juga, boleh diskusinya dilanjut kapan-kapan aja? Buat sekarang Bina gak sanggup," ucap mbak Bina lagi saat gue masih bungkam karena gak bisa menjawab pertanyaannya.
Bukan karena gak tau jawabannya apa.
Tapi rasa sesak ini membuat mulut gue kelu untuk menjawab.
Ucapan mbak Bina tadi akhirnya membawa para orangtua pulang, gue udah meminta pada ibu atau mama agar stay di sini dulu untuk membantu mengurus mbak Bina, tapi isteri gue itu melarang.
"Bu, Ma.... kira-kira ibu atau mama bisa stay di sini?Buat bantu jagain mbak Bina."
"Gak usah, mama sama ibu pulang aja. Nanti kalo ada apa-apa aku telpon."
Tadinya gue mau bicara lagi, masih ingin meminta hal yang sama karena kemarahan mbak Bina sama gue tentu membatasi gue untuk menjangkau dirinya meski kami ada di rumah yang sama, tapi belum sempat suara gue keluar, pundak gue ditepuk oleh papa.
"Kalau kamu mau dimaafin sama saya, jagain anak dan cucu saya, itu tanggung jawab kamu."
Ucapan papa seolah menjadi tamparan untuk gue bahwa memang gue lah yang seharusnya menjaga mbak Bina, bukan minta pada orang lain. Pada akhirnya gue pun mengangguki ucapan papa tersebut sebelum para orangtua pamit dan pergi dari rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
FanfictionEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.