Bina Maira Ranjani
Blam....
Gue menutup pintu mobil agak keras setelah mendatangi orang kesekian untuk gue tanyakan keberadaan Bani pada mereka. Barusan adalah ke teman-teman nongkrong Bani pada saat di kampus, kalau kalian ingat dulu Bani pernah nongkrong dan dia pergi begitu aja karena gak suka obrolan yang mengobjektifikasi gue sebagai isterinya, ya... gue menghampiri salah dua dari mereka. Namanya Chiko dan Khodrin, tapi masih gak membuahkan hasil apapun, karena terakhir kali mereka bertemu Bani adalah di hari itu di saat mereka nongkrong sebelum kelulusan Bani.
Rasanya kesal, karena sebelumnya gue sudah menghubungi mereka lewat sosial media, menanyakan perihal Bani, gue kira dengan mereka mengajak bertemu karena mereka punya satu hal untuk jadi pencerahan gue, tapi nyatanya yang mereka omongin cuma keburukan Bani.
"Bani emang gitu sih mbak setau saya, jaman pacaran juga suka ngeghosting orang," kata si Khodrin.
"Paling punya cewek baru makanya cabut mbak," imbuh Chiko.
"Emang kamu pernah pacaran sama Bani?" serang gue gak suka pada si Khodrin.
"Ya gak gitu lah maksudnya."
"Kalian ini kalau dari awal gak tau Bani dimana ngapain ngajak saya ketemu?" Sentak gue lagi.
"Gak suami, gak bini, sama-sama sensi banget," itu si Khodrin lagi yang ngomong dan persis setelah mendengar itu gue memutuskan pergi saat itu juga karena merasa gak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan 2 cecunguk ini.
Dan sekarang, di mobil gue cuma bisa menangis lagi dan lagi. Udah 1 bulan Bani pergi, gue udah lapor polisi tapi gak tau kenapa masih gak ada kemajuan juga.
Selama Bani pergi, selama itu juga rasanya gak ada selera hidup. Meski masih ada Keenan, tapi sangat terasa kalau ada yang kurang. Gue jadi banyak sedihnya, tentu aja, siapa yang gak sedih ditinggal suaminya begitu aja tanpa kabar? Bahkan saat lagi hamil. Si adik di dalam perut gue jadi ikutan rewel. Gue jadi sering merasa sakit perutnya, mudah sekali lelah padahal yang gue lakukan cuma nangis. Dokter kandungan bilang kalau gue stress, dan itu sangat mempengaruhi kandungan gue yang jadi melemah.
Sangat ingin rasanya membenci Bani, menyalahkan semuanya pada dia, tapi hati gue gak sanggup. Gue justru selalu berhadap dia cepat kembali dan gue akan membuka pintu selebar mungkin untuk meyambut dia pulang.
Gue terisak kenyang dengan tangan terkepal yang memukuli stir mobil gue sendiri, dalam hati terus berteriak meminta Bani pulang. Ini bukan pertama kali gue ditinggal seorang pria, tapi rasa sakitnya sangat berkali-kali lipat. Gue gak sanggup kalau harus besarin anak-anak sendirian. Selama hidup bersama Bani, gue jadi lupa bagaimana menjadi perempuan independen yang bisa berdiri hanya dengan kaki sendiri, sekarang... hidup gue sudah bergantung pada Bani dan gue sangat membutuhkannya.
"Awh...." tiba-tiba aja perut gue terasa kram. Hal yang sering gue rasakan semenjak Bani pergi.
Gue menyandarkan tubuh gue di jok mobil dengan memejamkan mata karena menahan sakit di perut.
Saat gue sedang mencoba mengendalikan rasa nyeri di perut, ponsel gue tiba-tiba berbunyi. Dengan cepat gue langsung meraih ponsel gue yang ada di tas gue, semenjak kepergian Bani, semua telpon yang masuk selalu gue harapkan bahwa itu adalah Bani yang menelpon sehingga refleknya selalu sama, ingin cepat-cepat tahu siapa yang menelpon.
Tapi sekarang.... gue masih harus menghembuskan napas kecewa karena masih bukan Bani yang menghubungi gue, melainkan... Janu.
"Halo?" Gue mengangkat telponnya Janu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
FanfictionEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.