Bani Hanif Ashraf
Tangan gue masih menggenggam erat jemari mbak Bina, menunggu keterangan dari dokter yang kini terdiam sambil menatap layar USG dengan alis yang sedikit terangkat. Gue mulai merasa cemas, tapi belum berani bertanya.
Dokter tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah kami. "Hmm, sepertinya ada kejutan di sini."
Gue mengerutkan kening, bingung. "Kejutan?" tanya gue, nyaris bergetar.
Dokter mengangguk, kemudian menunjuk dua titik di layar. "Selamat, kalian bukan hanya akan punya satu anak... tapi dua. Ini kembar."
Untuk beberapa detik, rasanya waktu berhenti. Gue terdiam, mulut gue sampai sedikit terbuka, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan. "K-kembar?" Gue mengulang kata itu, hampir gak percaya.
Dokter mengangguk lagi, tersenyum lebar. "Benar sekali. Dua jantung yang berdebar. Ini yang satunya," katanya sambil menunjuk bayangan di layar, "dan ini yang satunya lagi."
Gue merasa dada gue sesak, tapi kali ini karena kebahagiaan yang meluap-luap. Gue menatap layar itu, lalu beralih ke mbak Bina, dia juga tampak begitu terharu. "Dua? Kita bakal punya dua anak?" lirih gue padanya, rasa haru gue bercampur aduk dengan rasa senang gue karena akan punya anak kembar, ditambah oleh ingatan tentang kakak kembar gue.
Seolah tau apa yang gue rasakan, tangan mbak Bina menggenggam tangan gue, diamengangguk pelan, tersenyum di antara harunua. "Iya, dua, Bani."
Gue gak bisa berkata-kata lagi, sampai ketika dokter memberikan penjelasan selanjutnya pun gue gak bisa mendengarnya dengan baik, gue masih kaget, gak nyangka sampai tubuh gue nyaris bergetar sekarang.
"Udah selesai, yuk, pulang!" Gue terkejut ketika mbak Bina menepuk bahu dan mengajak pulang.
"Hah? Udah selesai? T-tadi apa kata dokter?"
"Masnya bengong aja nih dari tadi, saya bilang keadaan kehamilan mbaknya udah lebih baik dari pada bulan-bulan kemarin, jadi saya minta tolong buat terus dipertahankan, minum vitaminnya jangan lupa dan dijaga pola makannya," si dokter sampai menggeleng-gelengkan kepala sebelum ia menjelaskan ulang.
"O-oh itu aja dok, gak ada yang bikin khawatir kan?"
"Enggak kok, aman."
"Alhamdulillah, ya udah, kalau udah selesai, kami pamit dulu ya dok?"
"Terima kasih.""Terima kasih ya dokter."
Gue dan mbak Bina pun keluar dari ruangan pemeriksaan setelah berpamitan dengan sang dokter tadi.
"Sayang.... ini gak mimpi kan?" Sampai di luar ruangan gue bertanya pada mbak Bina dengan sangat antusias.
Mbak Bina yang sudah semakin melunak pada gue itu tersenyum tipis, "Enggak, Bani. Ini beneran."
"Definisi setelah badai akan muncul pelangi ya bun?"
Isteri gue itu mengangguk, "Kamu seneng banget ya?"
"Iya dong, aku terharu juga sih, keinget aku dan kakak kembarku. Kamu seneng juga kan?"
"Seneng."
"Tunggu sini, aku tebus vitamin kamu dulu," ucap gue langsung berlari menuju pengambilan obat, iya lari, karena gue mau cepat-cepat pulang dan merayakan ini bersama mbak Bina dan Keenan.
***
Bina Maira Ranjani
Mendapati hasil USG yang menunjukan bahwa ada dua nyawa yang ada di perut gue, Bani terlihat sangat senang. Saking senangnya, dia sampe tolongin ibu hamil yang mau nyebrang. Waktu kita dalam perjalanan, Bani sampai meminggirkan mobil ketika ia melihat ada ibu-ibu yang sedang hamil besar menyebrang sendirian, waktu balik lagi ke mobil dia nyengir, "Jangan cemburu buna, aku cuma nolong, soalnya keinget kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
Hayran KurguEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.