27

66 17 17
                                    

Bani Hanif Ashraf

"Isteri mas harus bedrest dulu untuk beberapa hari, gak boleh melakukan hal-hal berat, apalagi stress ya. Jadi tolong dijaga suasana hatinya, dihibur banyak-banyak mas."

Kalimat dari dokter itu terus berputar di kepala gue ketika gue menatap mbak Bina yang hanya berbaring dan menatap kosong ke langit-langit kamar inapnya. Bagaimana caranya gue menghibur mbak Bina di saat gue lah yang membuatnya seperti.

"Sayang, bobok ya udah malem," ucap gue pelan sambil mengusap kepalanya.

"Keenan mana?" ia bertanya balik ke gue tanpa mau menatap.

"Keenan ada sama ibu."

"Papa-mama dan ayah-ibu tau?"

"Tau, tapi aku larang mereka ke sini, udah malem. Gapapa kan sama aku aja?"

Mbak Bina gak menjawab lagi dan lebih memilih untuk memunggungi gue.

"Tapi namanya orangtua kan, mereka pasti khawatir, jadi mereka ada tuh di luar. Papa-mama dan ayah aja, ibu jagain Keenan di rumah."

Mbak Bina masih gak menjawab.

"Kamu mau mama aja yang nemenin?"

Dan pertanyaan gue masih gak ada jawabannya.

"Sayang..." gue coba panggil lagi.

"Berisik! Aku mau tidur."

Gue tersenyum tipis, meski dijawab luar biasa ketus, tapi seenggaknya gue mendengar jawabannya.

"Kata dokter bagusnya miring ke kiri bun...."

Gue makin tersenyum ketika mbak Bina memutar tubuhnya menjadi kembali menghadap gue.

"Bobok yang nyenyak ya, kamu gak usah pikirin apapun, papa dan ayah pasti langsung beresin semua fitnah itu."

Mbak Bina kembali gak bereaksi apapun, ia hanya memejamkan mata tapi dengan dahi yang agak berkerut, menampakan wajah yang gelisah.

Gue tau mbak Bina udah tau soal yang sedang ramai di media sosial tentang kami, gue tau juga itu adalah salah satu traumatisnya mbak Bina, karena dulu ia juga pernah merasakannya.

"Sayang, kamu boleh tampar mulut aku kalo dirasa aku berisik ya, aku cuma mau ngomong sedikit, bun aku minta maaf ya, aku tau kamu muak banget, tapi i truly am sorry. Aku tau kalau dari awal aku gak kabur-kaburan, semuanya gak akan jadi kayak gini."
"Setelah ini aku minta tolong kamu buat gak mikirin apapun termasuk aku, fokus aja sama kesehatan kamu ya? Dan di saat kamu udah pulih 100% dan kamu udah siap nanti, kita bicara lagi, itu kalau kamu mau, kalau enggak ya gapapa."
"Sekarang kamu bobok ya? B-boleh aku usap-usap?"

Mbak Bina gak menjawab, dan gue menyimpulkan jawabannya adalah... tidak boleh, jadi gue pun gak melakukannya.

"Ngomong lagi!"

Gue kaget ketika mbak Bina bersuara dengan mata terpejamnya, "Ngomong apa?"

"Apa aja, mending kamu yang berisik dari pada kepala saya yang berisik, saya jadi gak bisa tidur," ucapnya lagi meski nadanya belum terdengar ramah di telinga. Gapapa, itu termasuk permintaan darinya dan gue udah sangat senang untuk itu.

"Sambil pegang dikit ya? Kalo gak boleh pukul aja," balas gue seraya mendaratkan tangan gue dengan hati-hati di punggung tangannya untuk gue usap kecil.

Mbak Bina gak merespon apapun, kali ini gue simpulkan boleh.

"Dengerin aku minta maaf terus pasti capek sih, tapi sekarang aku rasanya pengen ucapin itu sama kamu terus, sampe tak terhingga, bahkan sampe kamu maafin pun aku tetep mau minta maaf, eh geer banget dah aku, siapa juga yang mau maafin aku ya bun?"
"Tapi pokoknya gitu deh. Aku minta maaf banyak-banyak buat semuanya."
"Dan.... terima kasih."
"Terima kasih juga buat semuanya ya buna. Makasih udah jadi pasangan aku yang super tulus, jadi buna yang super baik buat anak-anak aku, jadi kakak sekaligus teman yang selalu ada buat aku. Duh bun, kamu udah segitunya sama aku, tapi akunya belum bisa kasih apa-apa, yang ada ngasih sakit doang. Lagi-lagi.... maaf ya. Aku selalu berharap bisa kasih bahagia, bisa kasih dunia buat kamu, tapi... cih.... yang ada cuma bisa kasih penyakit aja ya bun? Emang suami kamu nih kayaknya bukan cuma butuh ke RSJ tapi di ruqyah kali bun."
"Aku rela kok nanti kamu bawa ke ustadz terbaik di sini buat ruqyahin aku. Makanya kamu harus sehat ya."

Echoes (Bina & Bani 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang