Bina Maira Ranjani
Gue menatap cowok yang duduk di ranjang yang sama dengan gue, tepatnya di depan gue yang kini sedang menyisiri rambut gue dari depan. Ya siapa lagi kalau bukan Bani? Pasca obrolan kami tadi siang tadi, Bani benar-benar gak meninggalkan gue sama sekali. Dari makan sampai sholat pun ia lakukan di sini. Ia bahkan menyuruh mama untuk pulang dan istirahat di rumah, biar gue diurusin sama dia aja.
"Kamu kangen Keenan gak?" Tanya Bani yang kini berdiri untuk mengikat rambut gue.
"Pake nanya!" Jawab gue sedikit ngegas.
"Hehe... kangen ya? Keenan juga kangen katanya."
Gue menyatukan alis, "Katanya? Kamu ketemu dia?"
"Enggak, telponan aja tadi."
"Kok aku gak tau?"
Dia menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menatap gue, "Kamu tidur tadi bun..." iya sih gue tadi sempat tidur siang, tapi kan dia bisa bangunin gue?
Plak.....
Gue memukul bahunya, "Harusnya kamu bangunin aku!!! Emang kamu aja yang mau ngobrol sama anak kamu sendiri hah?"
"Awh...." dia meringis kesakitan.
"Iya, iya maaf...." bibirnya cemberut tapi detik kemudian garis bibir itu naik lagi, lalu dia bilang, "Dah rapih deh rambutnya...." seru dia dengan bangga seolah dia sudah membuat mahakarya di rambut gue."Aku mau pulang aja besok!" ucap gue langsung menarik perhatian Bani.
"Besok juga udah terhitung 3 hari karena aku masuk sini dari kemarin malam!"Bani menghela napas, "Ya udah boleh, tapi gak boleh ngantor dulu ya? Di rumah aja ya?"
"Ck! Iya."
"Nanti aku coba ngomong sama dokter."
Gue gak menjawab lagi, hanya menatap Bani yang sekarang tampak merenggangkan badannya hingga bunyi...
Krek....
Krek....
Gue sampe linu sendiri dengernya. Setelah gue ingat-ingat, dari sejak sampai ke Jakarta Bani tuh belum ketemu kasur, gue gak ke bayang badannya sepegel apa sekarang, belum lagi sama pukulan bertubi-tubi yang ia dapatkan dari ibu, ayah, Fany dan gue juga.
"Sayang, aku boleh minta tolong?" Tanyanya menatap gue.
"Apa?"
"Eum... tadinya aku mau minta tolong mama sebelum pulang, tapi lupa."
"Iya apa?"
"Sebentar."
Bani beranjak dari kursi untuk pergi ke tasnya yang ada di sofa. Ia mengeluarkan sesuatu dari sana sebelum kembali duduk di hadapan gue, tepatnya di kursi yang ada di samping ranjang rumah sakit.
"Boleh pakein koyo ke punggung aku?"
Gue nyaris gak bisa mengontrol wajah gue untuk gak menunjukan ekspresi sedih setelah mendengar permintannya. Bener kan, badan dia tuh pasti sakit banget sekarang.
"Naik sini," gue menepuk sisi ranjang gue.
Dia menurut, Bani duduk di sisi ranjang tapi masih menghadap gue.
"Balik badan dong, mau aku tempelin koyo di muka kamu?"
"Oh iya," abis itu baru dia berbalik badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes (Bina & Bani 2)
Hayran KurguEach tragedy, each echo, shatters their fragile peace, plunging them into a relentless cycle of grief and guilt.