08

24 11 2
                                    

Selamat membaca
Tinggalkan jejak
.
.

Lelaki itu mendengus kesal menatap kearah sampingnya. Dia sudah muak di ikuti mulu. Waktu santainya telah terbuang sia-sia oleh kedatangan perempuan tidak malu ini.

Sedari tadi senyuman di bibirnya tidak pudar. Apakah tidak sakit tu pipi senyum mulu.

Vidor menatap tajam Wala yang kini menopang pipinya memandang Vidor.

"Urat malu lo putus?" Wala menggeleng menjawab pertanyaan vidor.

"Empat," ujar Wala dengan gembira.

"Emang cewek gatal gak tau posisi lo!"

"Gak papa. Kasih paham lagi dong gue."

"Stres."

"Iya. Semenjak enam puluh hari ini gue udah stres gara-gara lo. Kenapa sih gak dari dulu aja kita ketemu, 'kan waktunya bisa lama lagi."

Vidor menatap binggung Wala, apa maksud dari ucapannya?

"Siapa juga yang mau ketemu sama lo."

"Tumben kosa katanya banyak," ucap Wala sambil mengubah gaya duduknya dengan menopang badan keatas meja.

Ah iya.

Wala teringat sesuatu sedari kemarin, mumpung orangnya masih disini kenapa tidak ia tanya langsung.

"Cinta. Lo kemarin telponan sama cewek ya?" tanya Wala berharap apa yang ia pikirkan bukan menjadi kenyataan.

"Tau dari mana?"

Walau hanya begitu yang dijawab Vidor, Wala sudah dapat menyimpulkan jawabannya.

Ternyata sudah ada yang bisa membuka hati beku Vidor. Siapa? Kenapa bukan dia? Ah Wala sedikit kecewa.

"Emang benar ya?"

"Bukan urusan lo."

"Cinta, kalau pun lo udah ada yang lain gue gak papa kok. Setidaknya lo bisa bahagia sama dia, tapi satu hal yang harus lo tau gue tetap akan kayak gini sebelum waktunya tiba. Taulah cuma sisa tiga ratus lima hari lagi buat gue ngejar lo. Sayang bangat besok-besok kita gak bisa ketemu lagi." Wala tersenyum manis.

Vidor tidak terlalu memperdulikan omong kosong Wala. Siapa yang peduli pada gadis ini? Asal usulnya aja mereka tidak tau? Siapa orang tuanya? Berasal dari mana? Vidor tidak peduli juga.

Wala menepuk roknya seakan ada debu, gadis itu menepuk tangannya untuk tujuan membersihkan dari debu tadi.

Wala berdiri dari duduknya dan kembali tersenyum manis kearah cintanya. "Jangan lupa makan yang kenyang."

Setelah mengucapkan itu Wala melenggang pergi dari hadapan Vidor.

Vidor menatap punggung kecil itu yang mulai hilang di keramaian kantin. Perasaannya tidak enak ketika Wala mulai melangkah jauh. Memang apa yang akan terjadi?

"Loh udah mau pergi?" tanya Farid ketika berpapasan dengan Wala yang mau berjalan kearah luar kantin.

"Iya. Taulah gue ditolak lagi."

Setitik Harapan : 365 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang