21

24 6 0
                                    

Selamat membaca
Tinggalkan jejak
.
.

Dua ratus dua puluh hari hitungan yang akan menanti jawaban takdir ini. Hari-hari demi hari selalu gadis itu hitung, dia juga selalu menandai setiap kalender dengan tanda silang bila hari ini dia masih bernafas.

Kini tangan yang masih terlihat pucat itu menyilangkan sebuah tanggal yang tepat sekarang sudah dua ratus dua puluh menunggu hari itu datang. Senyuman miris tercetak di wajah pucat itu.

Miris sekali hidupnya ini.

Setelah menandai tanggal, gadis itu duduk tegak menatap cermin yang memantulkan seluruh postur badannya. Disana dia dapat melihat sendiri berapa rapuhnya tubuh yang ia tempati ini.

Wajah, bibir, bahkan kulitnya semua tidak berwarna lagi.

Pucat.

Satu kata itu yang menggambarkan perempuan didalam cermin itu.

Gadis itu menarik nafas lelah dan duduk tepat di depan meja riasnya. Tangan pucat itu meraih peralatan make up, dia tidak mau semua teman-temannya melihat wajah tidak ada kehidupan ini.

Dia tidak mau membuat teman-temannya curiga.

Polesan pink di bibirnya membuat sedikit wajah itu bercahaya. Sekali lagi gadis itu menatap tampilannya yang lumayan segar dari tadi.

"Capek," lirihnya yang mulai lelah dengan jalan takdirnya.

Meraij tas putih yang dari tadi di letakkan diatas kasur dan menyandangnya. Setelah merasa cukup untuk ia bawah, langkah ringkih itu melangkah keluar kamar.

Sama seperti dulu tidak ada berubahnya. Rumah besar ini sangat sunyi dan sunyi.

"Bentar lagi bakalan ketemu kok," ucapnya keluar dari rumah megah tapi tidak ada kehidupan di dalamnya.

***

Gebang telah terbuka lebar buat siswa yang datang, mereka semua memasuki gerbang besar yang menjadi pandangan pertama.

Deretan mobil mewah terpakir rapih, sepeda motor pun juga ikut meramaikan parkiran. Parkiran motor dipisahkan dengan parkiran mobil.

Wala menatap siswa yang sedang berlalu lalang. Mereka memiliki bermacam ekspresi wajah, baik itu suram, bahagia, sedih. Semuanya sangat kentara.

Tidak sedikit dari mereka juga tertawa bahagia melemparkan lelucon. Kadang juga menatap kosong seperti yang Wala lakukan ini.

Sudah beberapa menit ia berdiri di tepi lapangan luas ini. Tidak melakukan apa pun hanya menatap seluruh penjuru sekolah ini. Bangunan yang megah, pakaian yang mewah, apa lagi yang kurang di sini?

"Penasaran, nanti gue bakalan kangen suasana kayak gini gak sih?" Monolognya sendiri.

Wala terhanyut dalam lamunannya tanpa sadar ketiga temannya melangkah diam-diam kearahnya.

Semenjak mereka bertiga masuk ke dalam, siluet seseorang yang berapa minggu ini tidak kelihatan sekarang berdiri di tepi lapangan sekolah dengan menatap seluruh bagian sekolah yang bisa ia tatap.

Dengan pelan-pelan mereka bertiga mulai melangkah ke arah Wala yang masih melamun.

"OI!" Teriakan Cita di kupingnya membuat Wala tersentak kaget.

Setitik Harapan : 365 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang