12

27 12 1
                                    

Selamat membaca
Tinggalkan jejak
.
.

"Beberapa bulan lagi kamu bakal tamat, Bunda udah gak sabar lagi menunggu hari itu akan datang." Senyuman merekah terukir manis di wajah perempuan paruh baya itu.

"Masi lama, Bun."

"Cuma beberapa bulan lagi. Toh gak bakalan lama kata Bunda."

"Bunda ini, lagian anak kita juga harus sekolah dulu baru bisa melangkah ke sana."

Celetuk laki-laki paru baya membuat kedua insan yang sedang asik mengobrol itu menoleh kearah tangga yang mana baru saja dilangkahi oleh sang tuan rumah.

"Iss, Papa. Bunda itu udah gak sabar. Coba Papa bayangin aja kalo rumah kita ini dihuni  suara lucu anak kecil. Pasti seru, Pa!" Sang Papa hanya menggelengkan kepalanya memandang ke antusiasan istrinya ini.

"Lah tanya dulu sama anak kita. Memangnya mau cepat-cepat?"

Sang anak yang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya membalas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Aku mau-mau aja, asalkan sama orang yang aku suka."

"Kan kamu udah lama pacaran."

"Lama bukan berarti untuk dia, Bun."

"Pokoknya jangan sampai putus deh, Bunda dukung kamu sama dia terus!!" Semangat Bunda yang seratus persen mendukung hubungan anaknya.

Sang anak hanya bisa tersenyum senang, ternyata orang tuanya juga menyukai perempuan yang ia pacari saat ini. Akan tetapi ada sedikit keraguan dalam hati kecilnya untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih matang.

Mungkin bisa dikatakan ia sangat bucin, sangat tolol kalo perihal dengan perempuan satu ini. Sampai-sampai dia tidak berkaca pada kesalahan yang telah pernah dialaminya.

"Kalo memang jodoh pasti bakalan terus kok, Bun. Bunda tenang aja." Yakin sang putranya dengan mengelus telapak tangan yang sudah mulai keriput itu.

Kedua orang tuanya tersenyum. Ternyata anak yang dibesarkannya ini akan segera berlabuh ke hal yang serius.

Semoga saja.

***

Dilain tempat terdapat seorang perempuan yang menghirup nafas lelah. Selang-selang yang terpasang di tangannya sangat membuat ia risih, walaupun itu salah satu alasan membuat ia bertahan.

Masih asik dengan lamunannya, seorang dokter yang sudah cukup umur memasuki ruangan yang dimana seorang gadis malang terbaring lemah tak berdaya.

Ini pasti lelah bagi seusianya.

"Sudah mendingan?" Kalimat itu menjadi pembuka bagi mereka.

Gadis yang terbaring di brankar  itu menoleh dengan wajah yang pucat. Seperti tidak ada lagi kehidupan disana.

"Sudah, Dok," jawabnya dengan tersenyum kearah sang Dokter tadi.

Dokter itu menarik salah satu bangku disana dan mendudukinya setelah meletakkannya tepat di samping brankar gadis terbaring lemah ini.

Setitik Harapan : 365 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang