"Lo mau ngomong apa?" Tanya Stevie begitu mereka sampai di balkon kamar lantai atas.
Gerald mendudukkan dirinya di kursi. "Duduk dulu" lalu mengeluarkan sebungkus rokoknya ke atas meja. "Mau rokok?"
Stevie mengendikkan bahunya, sudah lama dia tidak merokok. Dia mengambil sebatang lalu menyalakan rokok itu.
"Lo masih sama dari dulu" ucap Gerald tiba-tiba.
Stevie menjawab dengan sedikit candaan "Kalau gue tiba-tiba berubah berarti gue power rangers dong"
Gerald tertawa tentu saja. "Ya, enggak salah sih"
Stevie membuang asap rokoknya ke depan, yang kemudian asap itu langsung dibawa lari oleh angin.
"Kalau kayak gini jadi inget dulu, lo dulu juga tiba-tiba nawarin gue rokok"
Gerald tersenyum, dan ikut menyalakan sebatang rokoknya "Ya, semuanya masih sama kayak dulu, termasuk perasaan gue ke elo"
Stevie diam, tidak ada reaksi berlebih darinya. Dia hanya meneruskan menghisap rokoknya saja, lalu membuang asapnya ke arah Gerald.
"Uhuk, gila lo ya" Gerald terbatuk karena menghirup kepulan asap Stevie sekaligus kepulan asap rokoknya sendiri yang menjadi satu.
"Lo yang gila" jawab Stevie dengan santai.
Alis Gerald mengkerut. Tak ada yang bisa dia lakukan jika sudah begini, Stevie sejak dulu selalu abu-abu. Tidak pernah bisa ditebak.
"Gue nyesel suka sama lo"
"Nggak ada yang minta lo buat suka sama gue Ger"
Gerald tertawa "Tapi gue lebih kesel. Lo lebih milik anak yang baru lo kenal 4 bulan, dibanding gue yang udah lo kenal bertahun tahun"
"Apa sih hebatnya dia dari gue?" Tanya Gerald.
"Apa yang dia punya tapi gue enggak punya?" Lanjutnya lagi.
Stevie menoleh ke arah Gerald "Dia jauh lebih cantik dari lo"
Gerald kembali tertawa, kali ini tawanya lebih ke tawa emosi "Mery juga cantik tapi enggak lo pilih"
"Lo enggak usah bohong Stev" lanjut Gerald
Stevie memijit pangkal hidungnya yang mulai pusing karena pertanyaan-pertanyaan Gerald "Gue suka dia Ger..."
"Dia ngasih kupu-kupu di perut gue, yang enggak gue rasain waktu sama lo ataupun Mery" jelas Stevie dengan tenang.
Gerald tak lagi tertawa, dia menggigit bibirnya sambil mengepalkan tangan. Seperti sedang menahan emosinya yang akan meluap.
"Haah, angin pinggir pantai bawa debu juga ternyata. Perih banget nusuk mata" Gerald beralasan sambil menutup matanya yang mulai berair. Dia mendongakkan kepalanya ke atas, menahan agar buliran air itu tidak jatuh ke bawah dan membuatnya semakin malu di hadapan Stevie.
Stevie membalikkan tubuhnya kembali menghadap laut, sembari menyesap rokok di jarinya. Kandungan nikotin ini membuatnya sedikit tenang.
"Seenggaknya lo bisa ngasih gue pelukan perpisahan kan?"
Stevie mengerutkan alisnya, permintaan aneh apalagi ini? Apa dia anak tk yang akan berpisah dengan temannya?
"Bukan pelukan biasa kayak yang sering kita lakuin bareng anak-anak band.... Tapi pelukan pelepasan perasaan gue ke elo. Habis lo peluk, gue janji enggak bakal suka sama lo lagi" Gerald mengoceh tidak jelas.
Yah mungkin satu pelukan akan membuat Gerald jadi normal lagi, pikir Stevie. Dia merentangkan tangannya membiarkan Gerald memeluknya dengan erat.
Walau sedikit samar, Stevie dapat merasakan debaran jantung Gerald di dadanya. Juga sedikit air yang merembes ke bahunya, air? Gerald nangis?
"Lo nang-"
"Diem! Jangan ngomong apa-apa, gue cuma mau nikmatin pelukan terakhir gue sedikit lebih lama" Potong Gerald dengan segera.
Stevie merasa sedikit kasihan, dia dengan canggung menempatkan tangannya ke pundak Gerald dan menepuknya beberapa kali.
"Umph"
Stevie menengok ke pintu, rasanya dia tadi seperti mendengar seseorang. Tapi di pintu itu tidak ada siapa-siapa, kecuali fakta bahwa pintu itu sedikit bergerak yang menandakan bahwa barusan ada seseorang yang datang tapi langsung pergi.
"Lepas Ger"
"Lo segitunya gak mau gue peluk?" Tanya Gerald dengan lesu sembari melepas pelukannya.
Stevie masih memandang ke arah pintu berkata "Gue ngerasa barusan ada Gabriel di sini"
"Ngapain dia?" Gerald merasa tak percaya sekaligus heran kenapa Gabriel kesini?
"Gue turun dulu" pamit Stevie dengan menepuk pundak Gerald sekali, lalu berlalu pergi.
***
"Loh Stevie?" Jena seolah keheranan melihat Stevie.
"Bukannya lo harusnya pergi ke supermarket bareng Gabriel?" Lanjut Jena.
Ah, celaka.
Stevie berdecak, dia tidak suka kesalahpahaman ini semakin berlanjut. Tadi karena Mery, sekarang karena Gerald.
"Kapan dia pergi?" Tanya Stevie dengan tergesa.
"Kayaknya 10 menitan yang lalu deh, ya kan bae" Jena meminta validasi dari Mathew. Yang langsung di iyakan.
Stevie membuang nafasnya, dia kembali ke atas untuk mengambil jaketnya yang tadi sempat dia lepas.
"Kenapa honey?" Tanya Mathew.
Jena menggeleng "Enggak, kayaknya tadi Gabriel pergi sendiri"
Jena dan Mathew melihat Stevie yang berlari keluar dengan menenteng jaketnya.
"Ah tapi udah mau disusulin, kelihatannya aman" Mathew mencoba menenangkan Jena.
Tak lama dari itu Gerald turun "Stevie kenapa buru-buru banget?"
"Mau nyusulin Gabriel kayaknya" jawab Yudha yang baru saja menaruh piring terakhir yang berisikan daging yang baru matang.
Gerald berpikir mungkin tadi karena Gabriel melihatnya dan Stevie pelukan. Dia jadi sedikit merasa bersalah, "Gue ikut nyusulin juga deh"
"Ah, Ger nitip pembalut ya!" Teriak Mery yang baru dari kamar mandi.
"Yang ada sayapnya, gue kayaknya datang bulan deh" jelas Mery sembari mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.
Gerald tak mengambil uang itu "Iya gue beliin" dirinya langsung pergi menyusul Stevie dan Gabriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cewek Ganteng dan Cowok Cengeng || On Going
RomanceGabriel, cowok dengan paras cantik dan imut itu sedikit cengeng. Dia yang lemah lembut itu harus dihadapkan dengan Stevie, cewek tomboy yang pandai bermain gitar listrik dan merupakan salah satu anggota band rocker yang cukup hits di kampusnya. Ste...