Bertemu Stevie

174 18 10
                                    

Sore tadi mama dan papa Gabriel baru berangkat menuju kota Z.

Mereka berencana akan menginap sekitar tiga hari, untungnya mama mendapatkan izin cuti dengan mudah. Berkat dirinya yang tidak pernah izin selama 5 tahun mengabdi itu.

Gabriel sudah siap dengan sekantong penuh oleh-oleh yang dia bawa dari rumah.

Saat ini dia sedang menunggu lift di apartemen Stevie turun dan membawanya ke lantai atas.

Sesekali Gabriel mengaca pada pantulan pintu lift yang memantulkan bayangan dirinya. Dengan jaket tebal dan celana jeans.

Benar-benar bukan seperti Gabriel yang biasanya memakai celana bahan dan sweter.

Pintu apartemen itu di pencet beberapa kali oleh Gabriel.

Tak lama menunggu, keluarlah Stevie dengan raut yang sama-sama saling terkejut.

Gabriel terkejut melihat Stevie merubah warna rambutnya menjadi blonde.

"Lo kenapa tiba-tiba..."

gabriel memotong ucapan Stevie dengan menyodorkan sekantung tas yang penuh.

"Ah, hai. Maaf ngagetin, ini oleh-oleh"

Stevie meraih kantong itu dengan raut wajahnya yang kesal, dia menarik Gabriel masuk tanpa aba-aba lalu menutup pintu apartemennya.

Gabriel yang tak siap sedikit terhuyung ke depan, untung saja Stevie langsung mendorong tubuh Gabriel kembali ke belakang hingga menatap pintu.

"Dari mana aja" geram Stevie dengan tajam menatap Gabriel.

Gabriel sedikit salah tingkah karena jarak wajah mereka yang sangat dekat. Dia menolehkan kepalanya ke samping, menghindari tatapan Stevie.

"Jawab gue" ucap Stevie dengan penuh penekanan sambil memegang dagu Gabriel dan mengarahkan wajah itu kembali menatap ke arahnya.

"Ma-maaf" cicit Gabriel, dengan sebulir air mata yang terjun bebas lewat pipinya.

Yah walau bagaimanapun tetap akan sulit merubah watak bawaan Gabriel.

Menyadari Gabriel yang mulai menangis, Stevie berpikir mungkin dirinya sudah sedikit keterlaluan.

Dia pun memundurkan tubuhnya sedikit ke belakang lalu menggaruk tengkuknya dengan canggung.

"Du-duduk dulu" titah Stevie pada Gabriel yang masih sesenggukan.

Walau begitu Gabriel tetap menurut dan duduk di sofa yang sama seperti saat dia datang dulu.

"Lo mau minum apa" tanya Stevie berbasa basi mencairkan suasana.

Gabriel tak menjawab dan masih mengucek matanya beberapa kali.

Melihat hal itu Stevie menghembuskan nafasnya, dia tak bermaksud membuat Gabriel menangis. Hanya saja selama itu tanpa kabar sedikit pun benar-benar membuat Stevie stress rasanya.

Stevie mendekati Gabriel lalu duduk disampingnya. Perlahan dia menepuk pundak Gabriel "Sorry, gue cuma khawatir"

Gabriel menengok ke arah Stevie, "Ma-maaf aku nangis, pasti kelihatan lemah banget ya" ucap Gabriel di selingi tangisannya.

Stevie bingung harus menjawab apa "Enggak, itu lucu kok" jawab Stevie dengan asal. "Ah, pokoknya berhenti nangis. Gue ambilin minum dulu"

Stevie bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur, sementara Gabriel berusaha menghentikan tangisannya dengan mengatur nafasnya.

Beberapa saat kemudian Gabriel sudah sedikit lebih tenang walau matanya masih sembab.

Tak lama Stevie datang dengan sekaleng Bintang Zero yang sudah dia bukakan dan memberikannya pada Gabriel.

"Sorry, itu yang paling aman buat lo minum"

Gabriel meneliti kaleng itu dan dia tahu kalau itu alkohol.

Stevie sedikit ragu membiarkan Gabriel meminumnya, dia mengambil kembali kaleng itu dari genggaman Gabriel.

"Tunggu, gue beliin air di bawah" ucap Stevie, meletakkan kaleng itu ke meja dan hendak pergi mengambil jaket.

Gabriel segera mengambil kaleng itu dan meneguk seluruhnya dalam sekali minum.

Tentu hal itu membuat Stevie sedikit melotot.

"A-aku bisa minum ini kok" ucap Gabriel dengan cengirannya.

Stevie kembali mendudukkan dirinya di sofa dan menyandarkan punggungnya sambil menutup mata.

Keheningan menyelimuti mereka berdua.

Hingga Gabriel membuka suara "Stevie kenapa diem" tanyanya.

Stevie menjawab masih dengan mata tertutupnya "Gue nunggu penjelasan lo"

Gabriel sedikit menciut tapi sedetik kemudian dia menjelaskan segalanya. "Iyel, ah maksudnya aku kemarin diajak papa naik gunung jadi susah sinyal"

Masih pada posisi yang sama Stevie membuka matanya "Tapi lo sempet ngabarin Jena"

"Oh enggak, itu karena Jena yang telepon. Habis itu handphoneku mati" sangkal Gabriel disertai penjelasannya.

Stevie menegakkan dirinya, dia menatap Gabriel dengan hening.

Gabriel hanya diam sambil melihat ke bawah.

Perlahan dapat Gabriel rasakan telapak tangan Stevie menyentuh pipinya.

"Gue mau jadi yang pertama tau segalanya tentang lo" ucap Stevie dengan serius menatap lurus ke mata Gabriel.

Gabriel langsung mengangguk "Tentu, Iy- aku bakal mastiin Stevie yang denger semua hal tentang ku"

Gabriel melirik ke arah Stevie, tak ada raut bahagia di wajah itu. Stevie justru menjauhkan tangannya.

"Gue enggak suka panggilan itu... sebut nama lo kayak biasanya, itu lebih lucu" ucap Stevie.

Gabriel kaget dia pikir Stevie diam saja sejak tadi karena tidak sadar akan hal itu.

"Tapi papa bilang aku harus berubah" jelas Gabriel.

Stevie mendekatkan wajahnya ke telinga Gabriel "Yea, lo boleh berubah di depan orang lain. Tapi enggak di depan gue"

Gabriel seketika merinding, namun dia mengingat hal sama yang selama ini mengganggunya.

"Ka-kalau gitu Iyel juga mau minta satu hal"

Cewek Ganteng dan Cowok Cengeng || On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang