Wang Yi pulang lebih awal pagi itu, dengan hati yang penuh dengan kemarahan dan frustasi. Dia mendapat telepon beberapa kali dari ibunya yang membuat emosinya langsung tersulut.
Saat tiba, dia mendapati rumah sakit yang masih dalam keadaan sepi, namun tidak butuh waktu lama bagi ibunya untuk menemukan keberadaannya. Ibunya, seorang wanita yang selalu tampil anggun, namun wajahnya dipenuhi oleh ekspresi kemarahan saat ini.
"Yi, di mana saja kau semalam? Apa kau tahu seberapa khawatirnya ibu? Kau meninggalkan adikmu sendiri di sini?" Bentak ibunya, suaranya tajam dan keras.
Wang Yi memandang ibunya dengan pandangan yang penuh dengan kekesalan. "Apa yang kau inginkan, ibu? Aku sudah dewasa, aku bisa melakukan apa yang kuinginkan. Dan sejak kapan ibu peduli dengan Wang Jia?" Jawab Wang Yi yang tidak kalah keras.
Ibunya semakin marah. "Apa yang kau pikirkan? Aku tidak bisa membiarkanmu hidup sembrono seperti ini. Bagaimana jika orang-orang tahu?"
Wang Yi melepaskan tawa pahit. "Siapa yang peduli? Selama aku tidak merugikan siapa pun, aku bisa menjalani hidupku sesuai keinginanku. Dan tidak usah lagi sok peduli dengan kehidupanku dan Jia."
Wang Yi merasa di dalam terlalu pengap, dia berjalan ke taman untuk mengajak ibunya berbicara lebih banyak lagi. Kedatangannya yang tiba-tiba dan amukan yang tidak karuan membuat Wang Yi ikut emosi.
Ketika Wang Yi dan ibunya berada di taman rumah sakit, ketegangan antara mereka mencapai puncaknya. Wang Yi tidak bisa lagi menahan kemarahannya, dan ibunya juga tidak mau mengalah. Mereka berdua saling berhadapan, mata mereka penuh dengan rasa marah dan frustrasi.
"Kau tidak mengerti apa yang sudah aku alami, Ibu!" Wang Yi berteriak dengan nada penuh amarah. "Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, tanpa peduli bagaimana perasaanku."
Ibu Wang Yi membalas dengan keras, "Aku hanya berusaha menjalani hidup sebaik mungkin, Wang Yi. Aku sudah berkorban banyak demi kalian!"
Wang Yi merasa emosinya semakin memuncak. "Kau berkorban? Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Kau selalu membawa lelaki ke rumah, tanpa memikirkan perasaanku dan adikku! Bahkan satu minggu ini, kau tidak ada di rumah berkeliaran tidak jelas. Aku muak dengan perilaku egoismu, Bu!"
Ibu Wang Yi tersentak oleh kata-kata putrinya. "Kau tidak boleh berbicara seperti itu padaku!" katanya, dan tanpa berpikir panjang, dia menampar Wang Yi dengan keras.
Plak!
Tamparan itu membuat Wang Yi terdiam sejenak. Dia merasa rasa sakit bukan hanya dari pukulan itu, tetapi juga dari rasa sakit yang sudah lama dia pendam, semua terasa menyeruak dari dalam hatinya. Tangan Ibunya gemetar setelah kehilangan kontrol terhadap emosinya.
Wang Yi tersenyum remeh, dia memegang pipinya yang panas dan berkata, "Kau lihat? Kau hanya bisa memukulku, tapi kau tidak bisa memahami perasaanku," ucap Wang Yi dengan mata berkaca-kaca.
Mereka berdua saling menatap dengan intensitas. Orang-orang di sekitar mereka mulai menarik perhatian, namun ibu dan anak itu sudah tidak peduli dengan tatapan orang lain.
Masing-masing dalam keheningan yang tegang. Ibu Wang Yi mencoba menyentuh pipi yang baru saja dia tampar dengan penuh penyesalan, namun Wang Yi menepis tangan ibunya.
"Ibu, aku tahu bahwa kau juga telah menderita setelah keretakan rumah tanggamu, tapi kau harus mengerti bahwa apa yang kau lakukan juga telah menyakitiku dan Jia. Kau harus berhenti membawa lelaki sembarangan ke rumah, dan berhenti berkeliaran memuaskan keinginanmu, kau harus memikirkan perasaanku dan Jia." Ucap Wang Yi dengan nada melembut.
"Kemarin Ibu kemana saja saat Jia sedang membutuhkanmu, Bu? Kenapa baru sekarang datang tiba-tiba lalu menyalahkan semua padaku? Apa Ibu tahu seberapa keras aku bertahan sendiri selama ini?" Kalimat menyakitkan terus Wang Yi ungkapkan, dia membuka lukanya sendiri, luka yang selama ini dia perban rapat-rapat, kini semua perban seolah terlepas dan luka itu ternyata belum mengering.
Wang Jia berjalan perlahan dituntun oleh perawat, dia melihat keluar dengan mata yang lemah. Air matanya meluap tidak tertahan ketika dia melihat ibu dan kakaknya bertengkar. "Berhenti! Berhenti bertengkar, tolong!" Ucapnya dengan lirih.
Wang Yi dan Ibunya langsung melihat sumber suara itu, Ibunya menghampiri Wang Jia dengan cepat, dan dia berkata, "Nak, kamu ikut Ibu ya, Kakakmu tidak bisa mengurusmu dengan benar. Dia banyak bermain di jalanan dan menjadi contoh yang tidak baik untukmu." Bujuk Ibunya dengan lembut.
Wang Jia merasakan hatinya begitu sakit. Dia menyayangi Ibunya, sekalipun dengan sikap yang seperti itu, dia juga sudah mengerti apa itu perceraian dan tekanan batin ibunya saat ditinggal oleh ayahnya karena memilih wanita lain, Jia tahu dan mengerti semuanya. Namun, dia tidak bodoh, dia tahu siapa yang selama ini merawat dan menjaganya siang malam.
"Aku ingin hidup dengan kalian berdua, Bu. Aku ingin bersama dengan Ibu juga Kakak." Jawab Jia dengan deraian air mata yang semakin mengikis perasaan Wang Yi.
"Itu tidak mungkin, Nak. Kakakmu sudah tidak menganggapku sebagai ibunya." Ucap Ibu Wang Yi dengan ekspresi seperti menjadi korban. Wang Yi menelan pahit salivanya, dia berusaha menahan emosi yang terus membuncah. Dia selalu disalahkan dan disudutkan atas apa yang dilakukannya selama ini, tidak hanya oleh ibunya, namun juga ayahnya.
Ibu Wang Yi merasa ngeri melihat anak-anaknya seperti ini, dia merasa tidak ada satu pun anaknya yang memihak padanya, dan dia merasa kehabisan tenaga untuk terus melawan. Dengan penuh kemarahan sekaligus penyesalan, dia akhirnya berbalik dan pergi, meninggalkan rumah sakit tanpa mempedulikan anak bungsunya lagi.
Wang Yi merasa perasaannya campur aduk. Dia merasa marah pada ibunya yang selalu menyalahkannya dan membebaninya dengan masalah keluarga. Namun, dia juga merasa bersalah karena adiknya menjadi saksi pertengkaran mereka.
Wang Yi berlari menghampiri adiknya di dalam, dia terus menangis tersedu-sedu. "Kak, tolong, jangan bertengkar lagi. Aku takut."
Wang Yi menatap adiknya dengan penuh penyesalan. "Maaf, Jia. Kakak tidak bermaksud membuatmu takut. Ayo, kita masuk ke kamar lagi."
Wang Yi mengangkat Wang Jia ke pangkuannya, tubuhnya begitu ringan karena yang tersisa mungkin hanya tulang terbungkus kulit.
Wang Yi menidurkan tubuh adiknya ke atas ranjang yang biasa dia tempati, dia merangkul Wang Jia yang masih menangis. "Tenanglah, Jia. Kita akan pergi dari sini dan mencari tempat yang aman. Kakak akan selalu menjagamu."
Wang Jia merasa kebingungan dan ketakutan, tetapi dia percaya pada kakaknya. Wang Yi mengurus segala administrasi rumah sakit dan berbicara pada Cheng Hao, Dokter Wang Jia, terkait kelanjutan pengobatannya yang akan dilanjutkan di luar rumah sakit.
Wang Yi mengemudikan mobil mereka pergi meninggalkan rumah sakit. Semua perasaan campur aduk, dari rasa bersalah hingga rasa marah dan sedih mewarnai perjalanannya saat itu.
Malam itu, Wang Yi dan Wang Jia duduk di kamar hotel yang mereka sewa sementara, Wang Yi masih mengurusi pembayaran rumah yang baru saja dia beli menggunakan Black Card ayahnya.
Wang Jia masih menangis, dia merasa sangat merindukan ibunya, karena pertemuannya pagi tadi sangat singkat dan hanya diselimuti kesedihan. Wang Yi mencoba memberikan sedikit penghiburan untuk adik kecilnya itu.
"Jia, kita akan melewati masa sulit ini bersama. Kakak tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu. Kita bisa memulai kehidupan baru, jauh dari semua masalah keluarga kita."
Wang Jia menatap kakaknya dengan mata yang masih berkaca-kaca akibat tangisannya. "Tapi aku merasa telah menyakiti hati Ibu, Kak."
Wang Yi merasa hatinya hancur melihat adiknya yang penuh rasa penyesalan, baginya pertengkaran dengan Ibunya bukan hal aneh, namun memang tadi adalah yang palih parah. "Kakak tahu, Jia. Kakak yang sebenarnya lebih menyakiti hati Ibu, kamu tidak pernah menyakiti siapapun."
Wang Yi selalu mengajarkan Jia untuk tidak membenci kedua orang tuanya, seburuk apapun tingkah mereka, cukup dia saja yang melakukan itu, Wang Yi tidak mau Jia hidup menjadi anak membangkang sepertinya.
Mereka berdua tertidur dengan perasaan campur aduk, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hidup mereka. Wang Yi tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi dia merasa bahwa dia harus melindungi adiknya dan menjauh dari konflik yang telah menghancurkan keluarganya.
Wang yi tidak bisa dihubungi selama hampir beberapa hari, Yiqi semakin khawatir, dia tidak tahu apa yang terjadi pada sahabatnya. Ketika pertemuan terakhir pagi itu di Villa, Wang Yi hanya berpesan untuk jangan pernah mencarinya dan tunggu sampai dia menghubungi lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flame in The Breeze - Wang Yi dan Zhou Shi Yu [sqhy couple] SNH48
Fanfictionantara cinta dan keluarga, kedunya membuat Wang Yi terjebak dalam kebingungan. Dia orang yang sangat tertutup, seolah mendapatkan kembali apa yang dia dambakan selama ini saat pertemuannya terjadi dengan Zhou Shi Yu.