Hari demi hari telah berlalu, sepanjang itu juga Salma belum bertemu dengan lelaki yang selama ini menjadi alasan ia tak bisa tidur. Hatinya begitu resah tapi ia tak bisa apa-apa, mendatangi apartemennya pun rasanya percuma karena Roni tak lagi tinggal disana.
Ini hari ke lima Salma mendatangi kafe seakan sudah menjadi rutinitas sepulang dari kantor, duduk dipinggir jendela sambil menikmati segelas cappuccino. "Apa dia gak dateng lagi ya? Dari kemarin juga gak muncul-muncul,"
Salma jadi overthinking, apakah mungkin Roni sudah kembali Los Angeles tanpa memberitahunya? Ia menggeleng, semoga opsi kedua tak terjadi.
Sedetik kemudian matanya melihat seseorang yang tak jauh dari tempat duduknya, "Itu bukannya Dasya?" ia menyipitkan matanya memperjelas pandangan, "Lagi ngapain dia disini, apa mau ketemu Roni juga?"
Jika benar, Salma harus maju satu langkah dari gadis itu. Salma punya rencana bagus, ia bangkit berdiri sembari mengambil tasnya lalu menghampiri kasir. "Mbak, mau tanya kalo Paul ada?"
Meli jadi terdiam sejenak, "Maaf mbak siapanya ya? Ada perlu apa?"
"Saya...ehm.." Salma memutar otak, tak lama dari itu ide cantik terlintas dibenaknya. Ia menarik senyum, "Saya adiknya."
"Oh.." Meli terlihat mengangguk percaya, "Mari saya antar ke ruangannya,"
Salma terkekeh dalam hati karena usahanya berhasil, "Terima kasih."
Tok! Tok!
Mendengar ketukan dari luar membuat Paul menghentikan kegiatannya, ia melepaskan kacamata yang bertengger dipangkal hidungnya. "Masuk,"
"Permisi pak,"
Paul menatap heran, "Kenapa Mel, ada masalah?"
"Enggak pak, ini saya mau antar adik pak Paul," ucapnya.
"Hah, adik?" lelaki itu mengkerutkan dahinya heran, perasaan dirinya adalah anak bungsu.
"Iya pak," Meli melirik keluar, "Silahkan mbak," ujarnya.
Perempuan dengan blouse sage itu melangkahkan kakinya masuk sembari tersenyum lebar.
Mata Paul membulat, "Lho, Salma," ia dibuat terkejut dengan kehadirannya.
"Hallo kak Paul," sapanya tanpa beban.
Merasa urusannya sudah selesai, Meli memilih pergi. "Kalo gitu saya tinggal dulu pak, mbak,"
"Makasih ya," ujar Salma.
Meli mengangguk lalu keluar sembari menutup pintu.
Paul masih tak bergeming ditempat duduknya, ia mengusap wajahnya tak habis pikir. "Lo ngapain disini Sal?"
"Kan mau nengok kakak," Salma masih bersandiwara membuat lelaki itu bergidik ngeri.
"Geli Sal! Gausah kayak gitu," ketusnya.
Salma tertawa.
Paul menggelengkan kepalanya takjub, "Bagus juga cara lo sampe karyawan gue percaya,"
Mendengar pujian itu, dirinya jadi jumawa. "Iya dong, Salma gitu lho,"
"Kemarin Roni, sekarang gue, besok siapa lagi tuh," kata Paul sembari membereskan kertas-kertas yang berserakan dimejanya.
"Yakin deh, ini terakhir ... kalo gak ke pepet." diakhir kalimat Salma terkekeh.
"Duduk Sal," Paul ikut pindah ke sofa disusul gadis itu. "Jadi kenapa lo kesini, Roni lagi?"
Tebakannya tepat sasaran, Salma mengangguk. "Roni kemana ya? Akhir-akhir ini gue jarang liat dia," katanya, "Atau jangan bilang dia udah balik ke LA?" ia menatap Paul disebelahnya.
"Kalo iya gimana?"
Ucapan Paul membuat bahu Salma sontak melemas, mimiknya berubah sedih. "Serius lu Powl, segitu gak dianggapnya gue dimata dia?" lirihnya.
Kini giliran Paul yang tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi temannya, "Komuk lu Sal haha..."
Salma menatap aneh, "Apa sih, lo ngerjain gue ya?!" hardiknya.
Laki-laki itu tak bisa menghentikannya tawanya sembari menepuk-nepuk paha.
"Diem gak lo?!" gadis itu menatap tajam Paul, "Gue tabok nih!"
Ancaman Salma berhasil meredakan tawanya, ia mengambil napas. "Bercanda elah Sal, dibawa serius aja."
Paul sangat menyebalkan, Salma tak bisa berpikir jernih saat pikirannya tengah kalut dipenuhi satu nama. Kalau apa yang dikatakan Paul tadi benar terjadi, ia tak bisa menebak bagaimana hidupnya nanti.
"Gak lucu tau gak!" Salma bersidekap dada, mukanya memerah menahan kesal.
"Iya maaf," Paul berdehem mengubah wajahnya jadi serius. "Roni belum balik, dia lagi sakit." ucapnya.
"Hah, sakit?" Salma terlihat khawatir.
Paul mengangguk, "Kecapean doang, mungkin butuh semangat dari ayang,"
"Tapi kan lu bukan ayangnya lagi ya," lanjutnya seraya menatap polos Salma.
Salma mendelik sebal, "Gue tampol mulut lu Powl!"
Pria berkemeja hitam itu terkekeh.
"Terus sekarang keadaan dia gimana?"
"Gue belum sempet kesana lagi, lo mau jenguk gak?" tawarnya, "Siapa tau nanti ada yang CBLK again," goda Paul.
Salma tak bisa menahan senyumnya, tanpa berpikir panjang ia mengangguk cepat. "Mau!"
"Tunggu bentar, gue mau selesaiin urusan gue dulu," Paul bangkit berdiri, berjalan menuju mejanya.
"Oke!" Salma tersenyum, "Ada gunanya juga lo jadi temen,"
Kini, giliran lelaki itu yang jumawa. "Kapan sih seorang Paul gak berguna," balasnya.
Salma terkekeh, seraya menunggu Paul, ia mengeluarkan ponsel dan membuka pesan.
Mamah
Mah, Caca hari ini pulangnya telat ya, mau ke rumah temen dulu.***
Setelah menyelesaikan tugasnya, kedua sejoli itu langsung bergegas menuju rumah Roni dengan menggunakan motor masing-masing.
Namun baru setengah jalan, Salma merentangkan satu tangannya. "Eh Powl berhenti dulu," ujarnya agak keras.
Mereka menepikan motornya, Paul menatap Salma. "Kenapa? Ada yang ketinggalan?"
"Bukan," gadis itu menggeleng.
"Terus?"
"Gue pengen beli buah tangan dulu," katanya, "Masa kesana gak bawa apa-apa,"
Untung saja Salma ingat, rasanya tak enak jika berkunjung dengan tangan kosong apalagi ia sudah lama tak bertemu keluarga Roni.
Paul mengangguk dan tersenyum menggoda, "Mau pdkt sama mertua lagi ya,"
"Diem deh!" ketusnya, ia jadi gugup, takut suasananya tak sama seperti dulu, mana Roni juga belum tahu tentang kedatangannya.
Lelaki itu terkekeh, "Yaudah ayo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo Roni! (END)
FanfictionSequel Biar Menjadi Kenangan *** Namanya perpisahan tetaplah menyakitkan meskipun Roni pergi dengan cara berpamitan tapi tetap kenangannya masih membekas dalam ingatan. Salma tak pernah bisa menjumpai Roni lagi, seakan pria itu hilang bagai ditelan...