25

2K 281 28
                                    

Kemping yang seharusnya diwarnai dengan tawa gembira seketika berubah sebaliknya.

Bahkan disepanjang perjalanan hanya diisi obrolan Paul, Nabila dan Novia. Sementara kedua sejoli itu memilih bungkam dengan Roni yang fokus menyetir, sesekali lelaki itu melirik Salma dari kaca spion yang sedang memandang keluar jendela seperti tak tertarik untuk bergabung bersama mereka.

Roni mengemudikan mobilnya menuju rumah Nabila lebih dulu dengan Paul yang ikut mampir untuk membicarakan lebih lanjut hubungan mereka, membiarkan sahabatnya membawa mobilnya untuk mengantarkan Novia juga Salma.

Namun pada saat sampai dirumah Novia, Salma ikut keluar dari mobil, "Eh kenapa kau turun?" tanyanya.

"Gue minta jemput aja."

Novia heran, "Kok gitu? Gak boleh!" tegasnya. "Kalau berangkatnya bareng Roni, pulangnya juga harus bareng dia."

Salma berdecak kesal sembari bersidekap dada, "Terserah guelah Nop."

Roni masih diam didalam mobil memerhatikan kedua gadis itu.

"Mana bisa gitu Sal! Kita udah janji ke mamahmu buat nganterin anaknya sampe rumah," ujarnya seraya mendorong bahu Salma pelan, "Ayo masuk lagi."

Gadis itu terpaksa menuruti ucapan Novia. Ia duduk disamping Roni tapi sebelum pintu ditutup, Novia sempat berkata, "Ron, kalo Salma minta diturunin jangan kau turutin." ucapnya memperingatkan.

Salma akhirnya pulang diantarkan Roni dan bisa ditebak bahwa sepanjang jalan mereka memilih untuk diam membisu. Ketika sampai dirumah pun, Salma segera membawa keluar barangnya.

"Makasih, sorry ngerepotin." ujarnya singkat tanpa melihat Roni, ia membuka pintu mobil dan masuk kedalam rumah.

Sedangkan Roni hanya mampu memerhatikan gadis itu hingga hilang ditutup pintu, ia merasa kehilangan Salma padahal dirinyalah penyebab sikapnya jadi seperti itu.

"Maaf Sal." batinnya sembari melajukan mobilnya kembali.

Jika boleh jujur, Roni masih mencintai Salma, sikapnya selama ini bukan hanya sekedar menjadi teman. Tapi Roni takut mengulang semuanya, ia takut jikalau hubungannya kembali gagal dan Roni belum siap menanggung kehilangan untuk kedua kalinya.

***

Roni menggantungkan hoodienya dibalik pintu, baru saja ingin merebahkan tubuhnya dikasur, ponsel disakunya bergetar. Ia segera mengambilnya, tertera nama Novia dilayar dan ia tahu apa yang akan dibicarakan gadis itu.

"Apa?" tanyanya tanpa basa-basi lagi.

"Semalem kau habis ngomong apa sama Salma?"

Lelaki itu menghela napas sambil duduk ditepian kasur, "Tanpa gue ceritain lagi, lo juga ngerti."

"Ron, aku tau Salma salah tapi jangan karna Salma sabar, kamu pikir dia gak akan terluka hah?!"

Suara Novia yang meninggi membuat Roni tersulut emosi, mengapa dirinya selalu dipojokkan seakan dikejadian ini ia yang salah. "Terus lo pikir dulu gue gak terluka?!" sarkasnya. "Bahkan gue lebih dari ini Nop tapi kenapa seolah-olah gue yang jahat disini?"

Terdengar Novia yang terkekeh sinis, "Kau emang belum bisa berdamai sama keadaan ya Ron, kau gausah bohong Ron kalo hatimu juga pengen balik ke Salma." tudingnya.

"Ternyata bener ya, gak semua effort bisa dapet feedback baik. Seharusnya kau sadar, disini yang kekanakan bukan Salma tapi kau Ron." ucapnya penuh penekanan.

"Kalo kau nolak untuk sadar, semoga Salma yang sadar biar dia tau cowok yang dia gamonin bertahun-tahun gak kalah lucunya sama tingkah anak TK!"

Tut...

Novia mematikan teleponnya sepihak.

Roni melempar ponselnya asal, "Arrggh!" raungnya kesal, ia mengusap wajahnya kasar.

Mengapa semuanya harus berakhir seperti ini?

***

Disisi lain ada Salma yang tengah duduk sembari memeluk lututnya didekat kasur. Orang tuanya sampai keheranan melihat sikap sang anak yang tiba-tiba berubah, tanpa ada cerita apalagi wajah ceria, Salma langsung mengurung diri dikamar.

Salma kira setelah mereka bertemu kembali, Roni bisa membuka hati untuknya tapi nyatanya semesta berbicara lain.

Seharusnya ia sadar dari awal lelaki itu sudah tak menginginkan kehadirannya tapi Salma tetap kekeh untuk terus maju pantang menyerah, berharap ada hasil baik namun malah hatinya yang tersayat.

Meong...

Meong...

Seekor kucing dengan bulu lebat berwarna abu-abu itu mengendus-endus kaki Salma, refleks ia menurunkan kepalanya.

Meong...

Bombat seakan mengerti perasaan dirinya, mengkhawatirkan hatinya yang dirasa tak baik-baik saja. Salma tersenyum kecil dan mengangkat tubuh kucing kesayangannya kedalam dekapan.

"Aku gapapa," katanya dengan suara bergetar.

Meong...

Salma tak bisa lagi menahan tangisnya, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Bombat, mengeluarkan segala keluh kesahnya selama ini. Rasa kecewa dan sedih seketika bercampur satu, dadanya begitu terasa sesak menikmati rasa sakit yang masih tetap ada. Semakin di ingat, semakin berat untuk dilepas.

"D-dia kayaknya emang udah gak berharap kita balik." gadis itu menangis sesegukan, mengadu dan bercerita pada kucing manis itu seolah Bombat memang paham ucapannya.

Cinta Salma yang tulus dipatahkan hingga pupus, mungkin ia harus mulai belajar melepaskan meski rasa sakitnya tak main-main, mungkin ia harus belajar merelakan meski kadang juga terasa masih ingin memiliki.

Rasanya percuma jika ia terus berusaha mengejar Roni tapi takdir tak mengizinkan mereka bersatu, mungkin memang benar kisah mereka harus berhenti sampai disini. Bukan Salma ingin menyerah tapi karena ia menyadari bahwa ada hal yang tak bisa dipaksakan.

Salma menarik napas berat sembari meredakan isak tangisnya, "Kalo hubunganku sama Roni gak berakhir di pelaminan, mungkin karena kita gak sungguh-sungguh mengaminkan hal-hal yang diperjuangkan selama ini."

Perjalanan Salma dalam mencari kebersamaan sudah sampai di titik akhir, memaksa dirinya untuk lebih paham jika terus dipertahankan semua isinya hanyalah luka.

Hallo Roni! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang