Bab 43

193 24 12
                                    

Jika bukan karena bujukan Yeona sejak kehadirannya kembali. Mungkin saat ini Junkyu masih di dalam kamar, memeluk tubuh Yeona yang mulai berisi. Bercengkrama hingga rindu mereka pergi. Sayangnya, Junkyu harus mengalahkan egonya. Menurut pada Yeona untuk menemui ibunya.

Dengan langkah yang terseret-seret akhirnya Junkyu sampai juga di depan pintu kamar dimana ibunya dirawat. Dengan ragu pria itu menggeser pintunya.

"Junkyu...." Suara Somi memecahkan keheningan. "Putraku," ucapnya lagi dengan terharu.

Junkyu mengambil nafas panjang dan dalam lalu menghembuskannya perlahan. Supaya tidak emosi menghadapi ibunya. Langkahnya satu persatu dengan malas hingga sampai di ujung ranjang.

Somi yang sejak kepergian Yeona menjadi sulit tidur. Karena memikirkan perkataan yang menyadarkan dirinya. Somi sadar dirinya merasa sendiri dan hampa karena tidak ada satupun orang terkasihnya yang mau menjaganya. Doyoung pun tidak menjawab panggilannya. Disitulah Somi menyadari, bahwa kedua putranya begitu sangat berarti.

"Ibu senang kamu datang," ucapnya lagi.

"Kalau bukan bujukan Yeona, aku enggan kesini." Junkyu menjawab dengan tegas dan ekspresi yang dingin.

Somi terkejut mendapati perlakuan seperti itu dari putra sulungnya.

"Jangan begitu padaku, Junkyu. Jangan membenciku, ku mohon," lirih Somi dengan sedih.

"Aku tidak membencimu. Tetapi, ini memuakkan. Mau sampai kapan? Sampai diantara kita ada yang mati?" Junkyu shock sendiri karena dirinya bisa mengucapkan kalimat barusan.

Somi tersentak dan langsung memegang dadanya. Kepalanya menggeleng cepat, "Jangan bilang begitu. Selama ini aku selalu ditinggalkan. Jangan bilang begitu, Jun. Jika seperti ini, harusnya aku mati saja. Aku yang mati." Somi menangis sembari memukul dadanya, meremas rambutnya.

Junkyu sedih tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ibunya sudah sering seperti ini.

"Apa kamu senang jika ibumu mati, Jun?"

"Apa Ibu senang melihat salah satu putra mu mati, Bu? Apa Ibu senang melihat putramu menderita seumur hidup nya, karena harus terus menerus memenuhi obsesi Ibu yang tidak pernah terwujud?" Junkyu membalikkan keadaan.

Somi menelan salivanya. Benar-benar sudah kalah telak dirinya dengan keadaan. Seharusnya ia mengalah dan menurunkan egonya. Apa yang diucapkan Junkyu benar adanya. Bagaimana jika salah satu putranya meninggal? Mungkin masih ada putra yang lainnya. Namun, apakah dirinya juga akan bahagia? Sepertinya tidak. Somi sadar, perihal mati sudah diatur semuanya. Sudah memiliki waktunya masing-masing, lantas apa lagi yang harus ia gapai? Selama ini , kehendaknya selalu melukai orang lain, ia sadar tetapi ia pura-pura buta dan tuli.

"Apa Ibu belum sadar, mengapa Tuhan belum juga mencabut nyawa Ibu? Setelah kejadian Junghee dan insiden bodoh ini?" Junkyu menatap sedih ibunya yang sangat berantakan. "Mungkin Tuhan sangat berbaik hati pada Ibu, ingin memberikan kesempatan lagi pada Ibu untuk memperbaiki kehidupan Ibu dan anak-anak Ibu. Memberikan kebahagiaan dengan kehidupan baru Ibu setelah melewati banyak kejadian gila ini. Berdamai dengan masa lalu Ibu, memaafkan semuanya yang telah lewat. Aku tahu ini tidak mudah. Tetapi setidaknya coba," ocehan Junkyu panjang lebar.

Somi hanya membuka dan menutup mulutnya, bingung kalimat apa yang pantas keluar dari bibirnya untuk menanggapi penjelasan Junkyu barusan.

"Sejujurnya yang menyakiti ku bukanlah orang lain. Melainkan Ibuku sendiri," ucapnya Junkyu lagi, terdengar lebih lemah dari sebelumnya.

Wanita itu kini benar-benar terhenyak, pikirannya begitu berisik. Potongan adegan-adegan dalam hidupnya dari masa lalu hingga kini tampil dalam kepalanya seperti ingin menyadarkan nya, bahwa selama hidupnya selalu menyulitkan orang lain, terutama keluarganya. Tidak ada satupun yang bisa dibanggakan dari dirinya sendiri. Air mata penyesalan pun mengalir deras. Perlahan menurunkan egonya, dan menekan rasa gengsi demi kehidupan yang lebih baik setelah ini.

Save Our Marriage // 💎 Kim Junkyu ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang