17. Ancaman

2 0 0
                                    

Note : kata-kata kasar di sini hanya untuk mempertegas karakter, bukan untuk ditiru, pembaca harap bijak

****

"Zia, kalau resep kamu ada yang ga mau kamu perlihatkan, bilang aja, ya. Soalnya Tante memang gak bermaksud buat mengetahui rahasia dapur masakan kamu, apalagi bermaksud menirukan," ucap Maya saat Zia mulai menggeluti bawang-bawang untuk dikupas.

Dengan ramah Zia menggeleng. "Enggak kok Tante, gak ada yang rahasia, kalopun Tante mau bikin sendiri juga boleh kok," jawabnya.

Maya tersenyum. "Tapi Tante tetep ga akan bikin sendiri, soalnya Tante gak bisa masak," kekehnya.

Wanita itu ikut membantu Zia mengupas bawang, Zia sudah mendapatkan sepuluh biji, sedangkan Maya belum selesai satupun. Zia percaya dengan ucapannya, hanya sunggingan senyum yang Zia balas. Jujur saja dia masih merasa canggung, apalagi memasak di dapur sebagus, selebar, dan selengkap ini fasilitasnya, Zia masih berdebar. Bertambah berdebar saat di sisi yang lain dia melihat Radit nampak memotong kentang dengan serius, gerakan tangannya terlihat aneh, tetapi dia kukuh berusaha melakukannya setelah satu kali Zia ajari. Zia tersenyum sendiri melihatnya.

"Kamu jago masak belajar sendiri atau diajarin?" tanya Maya.

"Waktu kecil aku suka ikut Almarhumah Ibu masak, dan terbiasa masak sendiri pas Ibu udah gak ada," jawab Zia berusaha menahan gugupnya.

Maya nampak bersedih. "Oh... Ya ampun, maafin Tante."

"Gakpapa Tan, santai aja." Zia mengulas senyum meyakinkan.

"Kalau Bapak?"

"Ayah masih ada, tapi udah beberapa minggu ga ada di rumah."

"Kemana?"

"Ayah nikah lagi, tapi aku gak setuju, makanya aku gak mau ikut pas Ayah nyuruh aku datang ke pernikahannya. Sampai sekarang Ayah belum pulang," jelas Zia. Dia malah merasa bersedih saat mengingat tentang ini. Dan entah kenapa dirinya bisa semudah ini menceritakan tentang kehidupan pribadinya kepada orang yang baru dikenal. Mungkin sikap hangat dari mamanya Radit membuat Zia merasa percaya dan nyaman.

Maya menyentuh pundak Zia. "Yah, maafin Tante."

Zia menggeleng. "Gakpapa kok, Tan."

"Terus kamu tinggal sama siapa? Ada sodara?"

"Aku anak tunggal, sementara ini ya tinggal sendiri. Tapi tetanggaku pada baik, Tan, mereka juga sering ngasih masakannya, terus perhatian juga." Zia sengaja menjelaskan lebih, agar kisah hidupnya tidak terdengar semenyedihkan itu.

"Radit, jagain Zia, kasian dia pasti butuh teman."

"Iya, Mah. Kita emang temenan baik, yakan, Zia?"

Zia mengangguk. "Bener, Radit baik banget sama aku, Tan."

Maya tersenyum hangat. "Tante paham banget di posisi kamu, pasti kesepian, ya? Dulu Tante juga gitu, orang tua Tante cerai, jadinya Tante tinggal sama Nenek. Cuma Nenek satu-satunya teman curhat terbaik Tante sampai ketemu Papanya Radit."

Kali ini Zia hanya menanggapi dengan senyuman. Jujur saja sebenarnya dia bukan tipe yang pandai dalam obrolan begini.

"Melihat kamu pakai hijab begini, Tante jadi keingat koleksi terbaru butik Tante," ujar Maya menatap Zia dengan seksama sambil tersenyum. Dia kemudian berdiri. "Bentar, ya Tante tinggal dulu, sekalian manggilin Bi Marli, Tante gak bakat ngupas bawang."

Zia terkekeh. "Iya, Tante."

Zia melanjutkan pekerjaannya dengan lihai. Setelah mengupas semua bawang, dia menghaluskan semua bahan bumbunya dengan blender. Karena Radit belum selesai menghabiskan memotong kentang dan wortel itu, Zia turun tangan langsung. Mereka melakukannya bersama. Canda tawa menghiasi suasana, ditambah adiknya Radit juga ikut berpartisipasi. Zia sulit menahan tawa melihat hasil potongan Radit yang bentuknya tidak sesuai, terlalu kecil bahkan seperti dicincang.

The AnthonymsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang