26. Jangan Sampai Kalah

2 0 0
                                    

Sorry baru bisa update

****

Radit menuntut penjelasan, hingga mau tak mau Zia dan Fiona menjelaskan segalanya.

"Iya, Dit, gue suka sama lo," ucap Fiona tak enak hati.

Entah kenapa Radit merasa jengkel mendengarnya.

"Dit, tolong kasih kami kesempatan buat membuka hati lo," mohon Fiona.

Alis Radit mengernyit tak habis pikir. "Buat apa, sih? Jujur gue gak suka kalian kayak gini cuma gara-gara gue. Tau gitu mending kita gak usah sahabatan aja dari awal."

"Yah Radit, jangan ngomong gitu dong. Gue beneran cinta sama lo, gue gak bisa tenang sebelum tau lo punya perasaan yang sama atau enggak," terang Fiona. "Ini pertama kalinya gue ngerasain perasaan kayak gini, Dit. Bener-bener gak enak gue pendam. Setidaknya gue perlu berusaha dulu kali ini."

Radit menggeleng kecil sambil menghela napas. "Gue udah bilang kan kalo gue nganggep kalian semua sama, setara, kalian semua teman baik gue, cukup di situ aja."

"Gak bisa, Dit. Hati gue bilang lo juga cinta sama gue," balas Zia kukuh.

Radit mengusap kepalanya gusar, kedua gadis ini keras kepala sekali.

"Setidaknya kasih kami kesempatan dulu. Setelah itu lo harus pilih salah satu dari kami," ujar Zia.

"Kalo gue gak milih siapapun?"

Fiona dan Zia saling tatap.

"Kami yang menyerah. Kami janji gak akan gangguin lo lagi, asalkan lo kasih kami kesempatan dulu," ujar Zia.

"Kenapa kalian jadi mengatur gue begini?" protes Radit.

"Please!" mohon Zia dan Fiona bersama.

Tatapan kedua gadis itu penuh harap, Radit menghela napas.

"Iya, oke. Tapi tepati janji kalian, gue berhak gak memilik siapapun nantinya, dan jangan pernah maksa gue," tegasnya dengan wajah serius.

"Iya, janji!" kompak gadis itu lagi. Radit jadi bingung, mereka ini bermusuhan atau tidak sebenarnya?

****

Zia merasa lebih nyaman pulang ke rumah semenjak ada Arum, karena dia tidak lagi kesepian, meskipun rasa khawatir tentang keberadaan Ayahnya masih terus mengusik.

Zia membuatkan minuman coklat panas untuk Arum yang duduk di ruang tengah menghadapi laptopnya, kakak sepupunya itu sudah menghabiskan tiga jam duduk di sana mengerjakan tugas.

"Ini minum dulu, Kak, biar rileks." Zia menaruh minuman itu di atas meja di samping laptop Arum, kemudian dia duduk di atas sofa, dan menyalakan televisi.

"Wah Alhamdulillah, makasih, Zia," ucap Arum riang, mahasiswi semester 4 itu langsung menyeruput minuman itu.

"Sama-sama," jawab Zia tersenyum, dia mencoba mencari tayangan yang bagus di televisi. Namun perhatiannya teralihkan saat menatap Arum yang meminum coklat panas itu sambil bermain ponsel, dari tadi kakaknya itu terus senyam senyum, apa coklat buatannya seenak itu?

"Kak, senyam-senyum mulu dari tadi, di-chat Ayang, yaa?" ledek Zia.

Arum menatap Zia. "Ih apaan sih kamu, gak ada ayang-ayangan, aku gak pacaran."

"Masa? Pasti gebetan 'kan?" terka Zia lagi.

Arum menggeleng. "Bukan, aku aja gak punya kontak gebetanku. Oh iya, gak punya gebetan juga sih."

"Ih masa sih?" Zia tak percaya, dia lebih fokus pada Arum. "Bukannya di kampus itu lebih banyak cowok-cowok keren? Masa Kakak gak naksir siapa-siapa?"

Arum berpikir sejenak. "Ya, ada beberapa orang yang aku kagumi, tapi sebatas itu aja. Lagian aku gak mau mikir yang begituan dulu, aku mau cepet selesain kuliah, lulus dengan cumlaude, terus kerja deh, biar bisa ringanin beban Papa."

The AnthonymsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang