Sorak kemenangan menggaung meriah dari kelompok penonton SMA Pratama Wiyata saat tangan Radit diacungkan ke atas sebagai pengakuan atas kemenangannya.
Radit juara pertama, dia sukses meraih medali emasnya dan memamerkan keping medali itu dengan bangga. Semua lelah dan sakit yang dia tahan seolah menghilang begitu saja saat dia dinyatakan sebagai pemenang. Senyumnya terus merekah, bahagia melihat kebanggan dari guru-guru dan teman-teman yang mendukungnya. Dia senang sudah berhasil membawa nama baik sekolah.
Begitu penyerahan segala penghargaan sudah selesai, Zia bergegas mencari Radit. Dia sungguh tidak sabar ingin segera mengucapkan selamat pada Radit. Zia bahkan sudah menyiapkan buket dan hadiah spesial untuk cowok itu. Menang ataupun kalah, bagi Zia Radit tetap juara di hatinya. Namun rupanya bukan hanya di hati Zia, Radit benar-benar jadi pemenang di pertandingan ini, pertandingan yang sangat dia persiapkan dengan matang. Zia sangat bangga, rasanya dia ingin memeluk erat mengucapkan selamat penuh haru.
Butuh usaha Zia mencari Radit di tengah para peserta lain sampai akhirnya dia berhasil menemukannya. Zia segera menghampiri Radit yang tengah bicara dengan pelatihnya sambil berfoto bersama.
"Radit!" panggil Zia seraya tersenyum lebar dengan tangan menenteng buket dan kadonya.
Radit mendatangi Zia, mereka ke sisi yang sedikit lebih sepi dari ramai orang. Zia benar-benar akan memeluk Radit kalau saja cowok itu tidak menolak.
"Ih, gue mau ngucapin selamat," ucap Zia dengan rajuk manjanya. Dia kemudian memberikan semua yang dia bawa, Radit menerimanya.
"Selamat Radiiit! Lo keren banget, gue bangga bangga dan bangaaaa banget, semua usaha lo terbayarkan. Gue seneng banget sampe nyiapin semua ini buat lo," katanya penuh semangat, kemudian menyeka rambutnya sambil tersenyum penuh harap.
"Kenapa lo gak pakai hijab?"
Zia sedikit kaget sebab Radit bukan mengucap terima kasih, tapi malah langsung menanyakan itu. Zia tersenyum centil, pasti karena Radit terpesona.
"Gue pengen tampil spesial aja buat nyemangatin lo. Gimana? Bagus gak?" tanya Zia memainkan rambutnya.
Raut wajah Radit nampak kesal. "Gak gini caranya, Zia. Yang ada lo malah ganggu fokus gue tadi. Gue pikir gue salah lihat, tapi ternyata gue beneran lihat lo tanpa hijab."
Zia syok dengan bentakan Radit yang tiba-tiba. "Lo marah? Lo gak suka sama penampilan gue? Gue jelek, ya kayak gini?"
"Iya gue marah, apalagi lo jadiin gue sebagai alasan lo jadi kayak gini," ucap Radit tegas dengan tatapan tajamnya.
Mata Zia seketika berembun dibuatnya. "Bisa gak sih hargain usaha gue?!" balas Zia meninggikan suaranya. "Gue berusaha lakuin apapun yang lo suka, gue usahain apapun buat jadi tipe cewek yang pantes buat lo. Gue iri lihat Fiona bisa tampil cantik dengan berbagai gaya rambutnya dan bisa nunjukkin sama lo. Gue juga pengen lo tahu kalo gue gak kalah dari dia. Rambut gue secara alami malahan lebih mirip sama rambut idol kesukaan lo 'kan? Ini style persis kayak poster Jisoo di kamar lo."
Radit membulatkan matanya. Dia mengembalikan buket dan kado itu ke tangan Zia. "Stop Zia! Obsesi lo makin lama makin gak sehat. Mulai sekarang berhenti lakuin semua ini, berhenti berusaha masuk terlalu jauh ke kehidupan gue, gue gak nyaman, gue gak suka. Jelas kan?"
Deg...
Jantung Zia seakan berhenti berdetak. Tatapan amarah Radit dan kalimat-kalimat bentakannya menusuk hati, mencabik-cabik perasaan hingga hancur tak berbentuk lagi. Zia sangat terpukul. Air matanya berjatuhan di pipi. Tanpa sepatah kata lagi, Zia membanting buket dan kado itu ke lantai, lalu berpaling dan melangkah pergi dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Anthonyms
Novela Juvenil#karya 3 "Mengapa cinta bagiku justru berlawanan dari maknanya?" Sahabat Kanzia bunuh diri gara-gara depresi diputuskan pacarnya. Tak lama setelahnya, pacar Kanzia justru kepergok menyelingkuhinya. Awalnya Kanzia berpikir untuk menyusul saja sang sa...