Happy reading...
****
Zia menggerutu saat mengerjakan PR demi PR yang Radit serahkan padanya. Gara-gara di percobaan pertama Zia berhasil mengerjakan PR itu dengan baik tanpa dicurigai guru, dan dengan hasil memuaskan, Radit jadi terus-terusan menyuruh Zia mengerjakan nyaris semua PR-nya.
Untuk mengerjakan setiap tugas dengan hasil yang selalu memuaskan saja sudah cukup menyulitkan Zia, namun ada yang lebih sulit dan tak pernah Zia sangka. Rupanya tulisan tangan Radit sangat buruk. Jemari lelaki itu rupanya tak berbakat dalam hal menulis.
Radit menuntut Zia harus mengerjakan setiap tugasnya dengan hasil tulisan tangan semirip yang dimiliki Radit.
"Duh! Ini masih terlalu bagus!" omel Zia membandingkan hasil tulisannya dengan tulisan original milik Radit.
Dengan kesal Zia meremas lembar itu dan membuangnya. "Bisa-bisanya cowok sepintar dia tulisannya sekeriting ini," gerutunya, lalu mengambil ulang lembar kertas folio kosong. "Huaaa.... Mana banyak banget yang harus gue tulis.... Tega banget lo, Radit...."
Meski sambil menangis, tetap Zia lakukan. Demi mendapatkan hati Radit, Zia tak akan menyia-nyiakan satupun kesempatan. Meski harus berkutat dengan tulisan sialan ini setiap hari, Zia rela bersabar.
****
Zia menatap ke sekeliling, pada pusara-pusara yang memenuhi tempat luas itu. Ada perasaan berkecamuk menyusup di hatinya. Getir itu membuat langkah kakinya menjadi berat. Zia baru saja datang dari pemakaman Ibunya, dia begitu merindukan wanita itu, apalagi semenjak ayahnya pergi antah-berantah. Hari-hari Zia terus disesaki kesepian yang menyiksa batinnya. Bahkan, cowok yang Zia cintai pun turut berpartisipasi menambah luka kesepian di hatinya. Radit yang semula selalu menemani hari-hari Zia, kini terasa begitu jauh dan sulit untuk dijangkau. Namun Zia tetap tak bisa berhenti mencintainya, sebab hanya dengan melihat senyumnya lah Zia bisa merasakan seolah ada sebuah sinar menerangi harinya, apalagi seandainya bisa selalu melihat senyum itu dari dekat, Zia yakin hidupnya pasti lebih cerah seperti sebelum sikap Radit berubah dulu.
Setelah selesai mengobati rindu pada ibunya, Zia melangkah menuju pusara yang lain. Masih di komplek pemakaman yang sama, tetapi di tempat yang cukup berjauhan. Di sanalah Sang Sahabat bersemayam. Zia menekuk kakinya, duduk di samping batu nisan yang bertuliskan nama Nita.
Zia mengelus nisan itu dengan dada bergemuruh. Dia menaburi bunga yang dia bawa di atas makam Nita. Zia tersenyum dengan hati yang teriris. Rasanya lebih perih saat Zia ke sini sendiri daripada bersama Airin. Entahlah, Zia merasakan rindu yang begitu hebat pada gadis itu.
Zia membacakan surah Al-Fatihah dan berdoa untuk kebaikan Nita yang kini hidup di alam yang berbeda dengannya. Sekelebat memori masa lalu bermunculan, saat dia dan Nita sekelas di SMP, mereka menghabiskan banyak waktu bersama. Mereka memiliki kesamaan dalam banyak hal, termasuk soal cinta-cintaan. Zia tak pernah merasa seasik dengan Nita ketika menceritakan tentang kasmaran yang dia rasakan terhadap lelaki. Nita lah yang paling mengerti cara memvalidasinya. Nita lah yang selalu menjadi pendukung Zia setiap ada gebetan yang Zia incar, Nita juga lah yang selalu menemani Zia dengan sabar setiap Zia patah hati. Begitu juga Zia kepada Nita.
"Nita, gue kangen banget sama lo," ucapnya mengelus nisan itu.
"Lo baik-baik aja 'kan? Semoga lo baik-baik aja." Zia menatap pusara itu dengan tatapan dalam.
"Gue lagi gak baik sekarang, Nit. Seandainya lo ada di sini, pasti lo bakal bantuin gue buat dapatin hati Radit." Zia tersenyum hambar. "Iya, Nit. Gue suka sama Radit, sepupu lo."
"Gue gak habis pikir, gue bisa move-on secepat itu dari Ardan cuma gara-gara ketemu Radit. Dia baik, dengan cara yang berbeda dari Ardan. Dia unik di mata gue, dari sekian banyak cowok yang pernah gue temui, cuma dia yang berhasil merubah gue hingga sejauh ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Anthonyms
Roman pour Adolescents#karya 3 "Mengapa cinta bagiku justru berlawanan dari maknanya?" Sahabat Kanzia bunuh diri gara-gara depresi diputuskan pacarnya. Tak lama setelahnya, pacar Kanzia justru kepergok menyelingkuhinya. Awalnya Kanzia berpikir untuk menyusul saja sang sa...