03. Culture Shock Pertama

192 54 0
                                    

Siang, Dears!
Enjoy this story~
Happy reading!

***

“Mbak ... siapa namanya tadi?” Satpam yang sempat memintaku menunggu di teras, muncul dengan wanita paruh baya di belakangnya.

“Almira, Pak.”

“Nah, iya. Almira, ini Bu Wati, pengawas kos di sini. Kamu bisa tanyakan saja ke beliau soal kamar, tata tertib kos, dan lainnya, ya!”

“Siap, Pak. Terima kasih.”

“Sama-sama. Saya tinggal dulu,” pamit satpam yang baru kuketahui bernama Alpian dari name tag yang ada di seragamnya.

Sepeninggalan Pak Alpian, aku gugup bukan main. Beberapa kali aku menelan ludah sembari melirik takut-takut ke arah Bu Wati. Bagaimana tidak, sejak tadi dia terus mengamatiku dari atas sampai bawah seolah-olah sedang menilai. Tangannya tak henti menggerakkan kipas yang dipegangnya. Tatapannya begitu sinis, mengimbangi wajah galaknya yang sama sekali tak telihat ramah.

Fix, beliau kalau jadi kurir pasti dapat bintang satu mulu!

“Dapat informasi kosan ini dari mana?” tanyanya.

“Dari aplikasi, Bu.”

“Mamakos? Sudah payment?”

“Sudah untuk satu bulan ke depan, Bu.”

Dia menutup kipasnya dengan agak keras, membuatku sedikit berjengket karena terkejut. Dia lantas mengulurkan tangan ke arahku, kemudian bertanya, “Bisa lihat bukti payment-nya di aplikasi?”

Buru-buru aku mengeluarkan ponsel yang kusimpan di dalam saku depan ransel. Aku membuka aplikasi Mamakos. Semua gerak-gerikku tak luput dari tatapan mematikan Bu Wati. Saking gugupnya, entah mengapa loading ponselku saat membuka aplikasi terasa lebih lama dari biasanya. Atau mungkin karena pengaruh sinyal?

Selang beberapa menit, akhirnya aku bisa menunjukkan bukti payment yang sudah kulakukan. Bu Wati mengangguk-angguk, lalu mengembalikan ponsel yang segera kusimpan di kantung celana. Tentu urusan sewa kos ini sudah kelar, dong? Tinggal serah terima kunci kamar saja sih, yang belum.

Akan tetapi, perkiraanku salah. Rupanya, tata tertib di Arsha Kos sangat ketat. Belum apa-apa, Bu Wati sudah memintaku untuk membuka ransel dan koper yang kubawa. Beruntung aku menyimpan pakaian dalamku dengan kantung khusus sehingga tidak sembarangan terpampang nyata. Jika tidak, pasti aku akan malu banget.

No rokok, no miras, no sabu. Oke. Semua barang bawaanmu aman,” ujarnya.

Tak lama kemudian Bu Wati merogoh saku dasternya dan mengeluarkan sebuah kunci. Dia lantas menyerahkan kunci tersebut kepadaku. Selama beberapa saat, aku memandangi kunci kamar dengan gantungan kayu bertuliskan angka tiga di genggamanku.

“Ngapain kamu bengong berdiri aja di situ? Jadi ngekos di sini nggak?” tegur Bu Wati lantang.

Suara Bu Wati sukses membuatku mengerjap kaget. Aku refleks menjawab dengan sedikit menggeragap, “Ja—jadi, Bu.”

Tak ingin ditegur dua kali, aku mempercepat langkah menyusul Bu Wati yang sudah berdiri menungguku di ambang pintu. Pertama kali masuk, mataku tertuju pada sebuah lorong panjang dengan deretan pintu kamar.

“Di sini bayarnya pakai sistem bayar di muka setiap tanggal lima. Nggak ada acara nunggak bayar atau tawar-menawar harga. Sekali kamu nunggak, berarti kamu sudah siap pindah.” Bu Wati menemaniku berjalan menuju kamar sekaligus mulai menjelaskan tata-tertib di Arsha Kos.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang