06. Nawaitu Pontang-Panting

152 45 7
                                    

Malam, Dears!
Baru sempat update.
Semoga masih ditungguin.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

“Bagi kopi dong, Mas! Ngantuk banget, nih.” Aku meletakkan beberapa bundel script di atas meja, lalu mengisi kursi kosong di depan Mas Danu, kepala divisi produksi yang tengah berdiri di depan mesin penyeduh kopi.

“Lo pasti nggak balik ya, semalam?”

Aku bergumam mengiyakan. Tanganku memukul-mukul tengkuk dan memijitnya pelan. Gerakan tanganku baru berhenti ketika menyambut secangkir kopi yang Mas Danu sodorkan. Dengan hati-hati, kubawa bibir cangkir mendekat sehingga uapnya yang masih mengepul mengenai wajah. Dalam sekejap rasa lelah dan kantukku pun hilang.

“Lo disuruh ngerjain apa sih, sama Kinan?” Mas Danu mengambil satu script yang tadi kubawa dan memperhatikan halaman pertamanya. “Ini buat program baru?”

“Buat syuting hari ini.”

“Kinan nggak ada bilang apa-apa sama gue kalau program barunya bakal syuting hari ini.”

“Program baru apa sih, Mas? Buat Lensa Nalar itu.”

Mas Danu membelalak. “Yang benar lo?” tanyanya tak percaya. Tangannya sibuk membolak-balik halaman script yang dia pegang. “Beneran lagi.”

Senyumku menyembul dari balik cangkir. Aku meneguk kopi pelan sebelum berkata, “Dibilangin nggak percaya.”

“Kemarin kita nggak ada lho, diskusi masalah ini pas meeting. Kenapa hari ini mendadak ganti script dan rundown acara begini?” Pria berwajah oriental itu terlihat kesal, tetapi masih terus membaca script yang sudah kubuat ulang. “Tapi yang ini temanya lebih fresh, sih. Diselipin drama begini ternyata boleh juga. Pesannya juga bakal lebih sampai ke pemirsa. Jadi, nggak cuma bincang-bincang biasa. Lo yang buat?” komentarnya.

“Iya dong. Siapa lagi kalau bukan gue?” Aku menaik-turunkan kedua alis.

“Lo tuh sebenarnya bisa lho, jadi produser dan punya program sendiri, Mi. Lebih dari Kinan malah.”

Aku tahu. Masalahnya, keberuntungan saja yang belum berpihak padaku. Belum rezeki kalau kata Ibu. Jadi, mau dipaksa bagaimanapun, kalau belum waktunya, ya tidak akan dapat.

Tak ingin membicarakan hal itu lebih jauh, aku hanya tertawa lebar. “Jadi, ini udah oke ya, Mas?” tanyaku, berusaha kembali ke topik kami semula.

Mas Danu menutup script yang selesai dibacanya dan meletakkannya ke tempat semula. “Kalau Kinan oke, ya gue juga oke. Gampang dipahami kok ini. Script berubah sedikit nggak bakal ngaruh sama kerjaaan tim. Tinggal briefing bentar aja, mereka pasti juga bakal ngerti.”

Aku memundurkan badan untuk bersandar di kursi. Kuangkat kedua tangan, meregangkan tubuh dengan kepala yang bergerak ke kanan dan kiri. Mendapat komentar positif dari Mas Danu, tentu membuatku senang sehingga spontan menyeletuk, “Semoga Mbak Kinan langsung ACC deh, kalau gitu.”

“Jadi, ini Kinan belum tahu?” Mas Danu melongo.

“Gue aja buatnya dadakan kayak tahu bulat, Mas. Semalam Dokter Akhtar baru ngabarin last minutes banget, gila! Jadi, ya ... baru gue kirim lewat e-mail subuh tadi ke Mbak Kinan.” Aku menyengir lebar. Mas Danu berdecak bersamaan dengan ponselku yang bergetar. “Nah, panjang umur! Nih, Mbak Kinan nelpon,” sambungku, menunjukkan panggilan telepon dari Mbak Kinan sebelum menjawabnya.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang