SESUAI BUDGET

639 67 9
                                    

Siang, Dears!
Long time no see~

Banyak banget yang terjadi sehingga Hara Hiatus lama banget. But, siang ini sebelum Hara balik nulis di sini, Hara mau berbagi kisah Almira yang udah ditulis sampai selesai.

Cerita ini sebagai bentuk curhatan Hara selama dua tahun ini vakum nulis di Wattpad. Sedikit banyak, meski dibalut fiksi, intinya Hara sudah selesai melewati bagian tersulit dalam hidup.

So, enjoy this story!
Happy reading~

***

"Cut! Okay, kita break dulu sebentar. Kita masuk segmen empat setelah iklan." Suara Bang Guntur, sutradara Lensa Nalar terdengar puas.

Lensa Nalar adalah sebuah talk show yang fokus pada topik seputar dunia kesehatan dan gaya hidup sehat. Talk show ini dipandu oleh Dokter Fadil Hoesain, yaitu dokter spesialis anti aging dan penuaan dini. Pengetahuannya yang luas, pembawaannya yang luwes, dan parasnya yang menarik, tentu menjadi daya pikat tersendiri bagi program kami sehingga selalu mendapat rating tinggi.

Tanpa sadar aku mengulas senyum lega. Setidaknya, tiga per empat talk show ini sudah berjalan lancar. Kendati begitu, kami para kru lantas tak bisa berleha-leha. Apalagi untukku yang tidak akan pernah memiliki waktu luang demi memastikan lancarnya program acara.

Nah, coba lihat! Baru saja berkata lega, tak sampai beberapa menit, aku sudah menangkap kode dari Mbak Kinan, produser program tim kami. Wanita yang kerap membiarkan rambut lurus sebahunya itu terurai, memintaku untuk mengarahkan salah satu penata rias memperbaiki riasan Dokter Fadil.

Padahal kalau aku lihat, tak ada yang salah dengan riasannya. Semua masih on point malah. Namun, di mata elang Mbak Kinan, setetes keringat di dahi pembawa acara bisa menjadi perusak pemandangan dan harus segera dienyahkan sebelum mereka kembali tampil di depan kamera. Alhasil, segera kupanjangkan leher, melongok untuk mencari seseorang yang bisa aku mintai tolong. Biasanya dia selalu standby di pojok ruangan.

Setelah beberapa detik mencari, aku melambaikan tangan ketika tatapan kami tak sengaja bertemu. "Gendis, tolong itu Dokter Fadil di-touch up ulang. Chop, chop, ya!" pintaku sembari menepuk-nepuk pelan punggungnya agar bergerak cepat.

"Minum dulu, Mi!" Devika, sahabat yang tinggal satu apartemen denganku itu menyodorkan sebotol air mineral yang masih baru.

"Thanks, Vi!" jawabku singkat, lalu sibuk membuka tutup botol dan meneguk isinya cepat.

"Nyokap lo nge-chat gue."

Ucapan Devika barusan sukses membuatku menoleh penuh padanya. Kupikir Devika langsung pergi setelah memberiku sebotol air. Rupanya, dia masih berdiri di sampingku.

Dengan kening mengernyit, aku bertanya, "Serius?"

Devika cuma mengangguk. Matanya masih tertuju ke tribun penonton yang mulai perlu dikondisikan lagi. "Mending lo cek hape lo deh, Mi. Takut ada hal penting yang mau nyokap lo omongin." Belum sempat aku menjawab, Devika melanjutkan, "Gue ke sana dulu, ya!"

Aku mengacungkan ibu jari. Sebenarnya, aku sudah bisa menebak alasan Ibu menghubungiku. Mungkin akan lebih baik bila aku mengabaikannya, tetapi jiwa penurutku tak mengizinkan itu. Alhasil, aku melipir keluar dari studio untuk mengecek ponsel yang selalu aku silent saat bekerja.

Lima panggilan tak terjawab.

Benar saja apa yang dikatakan Devika. Selain mencoba menelepon, ternyata Ibu juga mengirim pesan agar aku meneleponnya balik. Karena pesan yang Ibu kirim sepertinya benar-benar urgent, tanpa berpikir dua kali aku pun segera men-dial nomor Ibu.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang