30. Perasaan yang Baru Tersampaikan

229 70 34
                                    

Sore, Dears!
Finally, sampai di bab terakhir cerita ini. Sebenarnya, masih ada 2 bab lagi (TAPI KHUSUS DI BUKU CETAK). Nggak bisa di-publish di sini.

But, 2 bab itu kayak EXTRA PART kok. Endingnya emang di bab ini.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

Kusandarkan punggung ke dinding lift selama benda kotak itu bergerak turun menuju lobi. Karena jam makan siang sudah lewat, otomatis lift sepi. Melamun, akun menghitung setiap lantai yang sedang lift lewati.

Pintu lift terbuka di lantai delapan. Lututku sontak menegak ketika bersitatap dengan Dokter Akhtar yang melangkah masuk. Sampai pintu lift tertutup, tidak ada siapa pun selain kamu berdua. Kami berdiri bersisihan, tetapi saling bungkam.

"Habis syuting Lensa Nalar, Dok?" sapaku karena tidak nyaman jika terus diam-diaman.

Dokter Akhtar menjawab dengan gumaman. Terang saja aku kembali mati gaya. Mau melanjutkan percakapan, tetapi kok kesannya sok akrab? Kembali diam malah makin awkward. Intinya, posisiku menjadi serba salah.

"Kamu sudah beneran sehat, Almira?" Tiba-tiba Dokter Akhtar membuka percakapan.

"Ya. Saya udah baik-baik aja sih, Dok."

"Jangan dibuat kerja dulu, ya. Besok lepas jahitan, kan?"

Kepalaku mengangguk. Ketika lift baru saja melewati lantai lima, aku mengingat sesuatu yang seminggu ini tanpa sengaja terlupa. Buru-buru aku memanggilnya ulang sehingga dia menoleh ke samping kanan. Manik cokelat madunya merangkum kedua bola mataku.

"Terima kasih karena waktu itu, Dokter udah membayar biaya rumah sakit saya. Tapi kalau boleh, saya mau minta nomor rekening Dokter buat menggantinya. Maaf karena baru minta sekarang. Selain karena kemarin saya sedang cuti, saya beneran lupa," ujarku hati-hati, takut menyinggungnya.

"Saya nggak meminta kamu menggantinya, Almira."

"Iya, tapi saya nggak enak, Dok. Biayanya nggak sedikit lho, itu."

Dokter Akhtar mengalihkan kembali tatapannya ke depan seolah-olah bersiap sebelum pintu lift terbuka di lobi. "Kalau begitu, traktir saya makan siang hari ini. Setelah itu, saya anggap impas."

Aku belum sempat menjawabnya, tetapi pintu lift sudah terbuka. Dia berjalan mendahuluiku. Namun baru beberapa langkah, dia berhenti. Badannya yang tinggi besar berbalik, menghadapku yang masih tercenung di dalam lift.

"Saya pengin makan Unagi Don Set siang ini. Kamu keberatan kalau kita ke Sakana lagi?"

***

And here we are!

Lagi-lagi aku dan Dokter Akhtar makan siang di Sakana Mega Kuningan untuk kali kedua. Bedanya, kali ini aku yang mentraktirnya. Setidaknya, itu yang dia bilang beberapa saat lalu sebelum aku mengiyakan ajakannya. Awas saja kalau sampai dia membayar makan siang ini diam-diam.

"Dokter suka banget sama makanan Jepang, ya?"

"Suka, tapi nggak sebanyak kamu." Dia menaikkan pandang dari buku menu sehingga manik mata kami bertemu. "Makanan Jepang salah satu makanan favorit kamu, kan?" tebaknya sok tahu.

Kendati tebakannya tak salah, aku juga tIdak serta-merta membenarkan. Aku jauh lebih penasaran, dari mana dia mengetahuinya. Namun, aku tak ingin bertanya secara langsung.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang