29. Alasan di Balik Setiap Keputusan

135 54 6
                                    

Selamat siang, Dears!
Asli yak, Hara nggak mau pisah sama si Ami. Berat banget mau update, Ya Tuhan!

Yang kemarin tanya gimana caranya Kinan nyabotase kerjaan Ami, jawabannya di bab ini ya, Dears.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

"Jadi, ini konsepnya kayak reality perjodohan gitu?" Mbak Tantri menjadi orang pertama yang berkomentar usai aku presentasi.

Setelah seminggu mengambil cuti untuk pemulihan, aku langsung ikut meeting dengan tim Mbak Tantri. Artinya, aku mengambil kesempatan yang sudah Mas Danu berikan. Kukerjakan proposal program baru itu dengan sungguh-sungguh, mencoba menyusunnya sesuai dengan yang Mbak Tantri mau. Kuharap, kali ini proposalku bisa tembus. Dengan begitu, aku punya alasan untuk mengajak bicara Mas Danu. Karena jujur, sampai sekarang aku belum menghubunginya lagi karena malu.

"Iya, Mbak. Bedanya, di sini kita yang nentuin."

"Lo ada bayangan siapa-siapa aja yang jadi pesertanya?"

"Yup!" Aku menekan pen pointer sehingga layar LCD di belakangku menampilkan beberapa nama yang tak asing. "Gue udah ada beberapa kandidat, sih. Mereka ini memang bukan dari kalangan artis atau pernah terjun ke dunia entertain. Tapi gue bisa jamin, kalau mereka adalah the most eligible bachelor yang banyak diincar."

"Wait! Ini profesi mereka, random gitu?"

Aku menggaruk pucuk hidung. "Nggak bisa dibilang random juga sih, Mbak. Karena setahu gue, meski mereka beda profesi, mereka masih satu koneksi. Satu circle-lah, istilahnya."

"Okay, menarik banget, nih." Mbak Tantri mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas meja. "Tapi mereka nggak punya pasangan semua, kan? At least, pacar gitu, tunangan, atau semacamnya. Gue nggak mau ya, Mi, kalau ke belakangnya nanti malah banyak skandal."

"Aman, Mbak, aman? Gue udah tanya langsung sama sumber tepercaya soal mereka ini. Dan beberapa, orang tua mereka memang lagi cari mantu, sih. So, kenapa nggak sekalian kita fasilitasi aja?" jawabku mantap dan optimis.

Mbak Tantri memutar kursi, menatap anggota timnya yang kebetulan ikut meeting. "Gimana? Ada yang punya pendapat lain mungkin?"

Beberapa detik menunggu, karena tak ada bantahan dari yang lain, Mbak Tantri akhirnya berdiri. Dia mengulurkan tangan untuk menyalamiku. "Kalau gitu, welcome to my team, Almira! Gue tunggu gebrakan baru lo di program ini. Lo siapin aja semuanya. Kalau butuh bantuan, lo bisa langsung arahin gue dan yang lain. Nggak perlu sungkan. Karena di program ini, lo produsernya."

Perlahan sudut-sudut bibirku merekah. Kusambut ukuran tangan darinya dengan hati bungah. "Thanks, Mbak. Gue janji program ini bakal dapat rating tinggi," janjiku yang kontan diangguki Mbak Tantri dengan sorot mata yakin dan percaya.

***

Keluar dari ruang meeting, mataku tak sengaja berserobok dengan Mas Danu. Sekilas aku menangkap senyum tipis di bibirnya. Sebelum dia beranjak melewati, tanganku bergerak menggamit sikunya. Tingginya yang jauh di atasku, membuatnya menunduk dengan glabela berkerut.

"Mas, bisa ngomong sebentar?"

Tak kusangka, Mas Danu dengan mudah mengiyakan. "Di rooftop aja, gimana? Mumpung gue lagi pengin cari angin, nih."

Sebagai pihak yang merasa punya banyak salah padanya, aku mengikuti saja kemauannya. Kami berjalan memasuki lift yang bergerak menuju rooftop i-Net TV.

"So, mau ngomong apa?" tanya Mas Danu, mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya. Dia mengambil sebatang, lalu membakar ujungnya.

Aku mengusap tengkuk dengan canggung. Biasanya, aku tak pernah secanggung ini dengan Mas Danu.

"Proposal program gue ... di-ACC Mbak Tantri, Mas."

"Congrats, then! You deserve it, Mi."
Seharusnya, aku mengucapkan terima kasih kan, seperti niatku sejak awal. Mungkin juga permintaan maaf yang belum kusampaikan dengan benar padanya. Namun, yang keluar dari bibirku malah pertanyaan yang tak kusangka-sangka.

"Kenapa Mas Danu kasih kesempatan itu ke aku? Padahal sebelumnya, Mas ngeluarin aku dari tim Mbak Kinan?"

Mas Danu meniupkan asap rokoknya sembari bersandar pada pagar pembatas. Alih-alih tersinggung dengan pertanyaanku, dia mengulas senyum tipis seperti Mas Danu yang kukenal.

"Karena cuma dengan cara itu lo bisa berkembang." Dia merangkum kedua bola mataku dengan sorot matanya yang lurus. "Bukannya gue pernah bilang, ya? Dengan kemampuan lo, sebenarnya lo bisa punya program sendiri. Melebihi Kinan malah."

"Iya, tapi-"

"Gue tahu Kinan udah nyuri ide lo."

Mataku membeliak saking terkejutnya. Dari awal, aku sudah menduga Mas Danu tahu sesuatu. Namun, dugaanku runtuh ketika dia lebih membela Mbak Kinan waktu itu.

"Doctor Traveller, itu ide lo, kan?" tegasnya lagi.

"Lo tahu dari mana, Mas?"

"Lo sama Kinan itu sangat jauh berbeda, Mi. Mungkin, lo bisa bertahan di industri ini tanpa Kinan, tapi gue nggak yakin sebaliknya. Itulah kenapa sejak awal Kinan presentasi, gue langsung tahu kalau ide itu nggak mungkin punya dia. Dari penjabaran, alternatif solusi, dan yang lainnya, jelas-jelas itu bahasa lo banget. Tapi gue nggak punya bukti. Makanya, di mata lo, mungkin gue lebih memihak Kinan dibanding percaya sama apa yang lo bilang. Sorry."

Aku menelan kembali kata-kata yang sudah di ujung lidah. Penjelasan Mas Danu cukup mengejutkanku.

"Gue nggak bisa terang-terangan belain lo tanpa bukti. Itulah kenapa gue cari bukti dengan cara gue sendiri. Dan gue nggak menyesal udah ngeluarin lo dari tim," tuturnya lagi.

"Dan lo dapat buktinya, Mas?"

"Nggak ada kejahatan yang sempurna, Mi. So, yeah!" Kepala Mas Danu mengangguk puas. "Hari itu gue langsung kepikiran buat ngecek CCTV di koridor ruang meeting. Dan benar aja, selama kita ngobrol di pantry, Kinan ada masuk ruang meeting selama lima menit sebelum keluar lagi. Lo ninggalin laptop lo di sana kan, sebelumnya? Sayangnya, di ruang meeting nggak ada CCTV. Jadi, gue nggak bisa jadiin itu bukti. Dan gue bersyukur banget, berkat kecerobohan Kinan, gue nemuin file asli lo di hardisk eksternalnya sewaktu gue copy-in dia episode Lensa Nalar buat dia cek ulang sebelum tayang."

"Setelah lo tahu kebenarannya, lo tetap milih keluarin gue dari tim, Mas?"

"Ya. Gue yang nyaranin." Mas Danu menyedot rokoknya. "Anggap aja itu hadiah sekaligus bentuk permintaan maaf gue," sambungnya, lalu mengekeh ringan. "Gue nggak bisa balikin program Doctor Traveller lo, tapi seenggaknya gue bisa kasih kesempatan yang lebih besar buat lo berkembang. It's win-win solution, right?"

"Mas Danu-"

Mas Danu melarikan sebelah tangannya ke puncak kepalaku. Dia memberi tepukan ringan bak seorang ayah yang tengah menasehati putrinya. "Belajar dan kerja yang benar sama Tantri. Gue yakin, dia lebih bisa ngembangin dan ngarahin potensi lo. Lo nggak usah takut atau khawatir. Gue jamin, Tantri nggak sediktator Kinan," ujarnya sebelum meninggalkanku sendirian di rooftop dengan perasaan haru.

Diam-diam aku mengucapkan terima kasih dalam hati. Kalau bukan karena Mas Danu, mungkin aku sudah memutuskan resign. Aku pun berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah dia beri. Suatu saat nanti, aku pasti akan menunjukkan padanya, bahwa aku mampu menjadi produser yang baik, yang mampu menelurkan program-program hebat di i-Net TV.

TBC

Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!

Thanks for your support~

Big hug,
Vanilla Hara
7/10/24

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang