21. Hari Terburuk Dalam Hidup

103 40 7
                                    

Siang, Dears!
Masih sanggup baca Ami sampai tamat?
Komentarnya dibalas nanti, ya.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

"Pakai telur atau ayam, Mbak?"

Aku menunjuk asal pilihan lauk yang tersisa di etalase warung Bu Atun. Memasak bukanlah pilihan yang tepat ketika seharian ini suasana hati sedang buruk. Oleh karena itu, di perjalanan pulang aku mampir ke warung Bu Atun yang tak jauh dari kosan.

"Ini Mbak. Kerupuknya ambil sendiri, ya. Gratis. Tapi satu aja. Kalau dua, bayar."

Usai mengucapkan terima kasih, aku membawa piring berisi makanan yang kupilih sekenanya ke bangku pojok. Aku sengaja duduk di dekat tembok karena malas berbaur dengan pengunjung lain. Untuk kali ini saja, aku ingin makan dengan tenang tanpa harus memaksakan diri berbasa-basi.

Pada suapan kelima, kursi di sebelahku ditarik oleh seseorang. Dari aroma parfum mahal yang tercium, aku tidak perlu menoleh untuk mencari tahu siapa yang mengisi kursi itu. Tanganku terus menyendok nasi dan telur, bersikap acuh tak acuh.

"Bu Atun, kayak biasanya satu, ya! Jangan lupa ayamnya bagian dada."

"Wah, dadanya kebetulan udah habis, Mas Bara. Kalau paha mau?"

"Boleh, deh. Paha atas kan, Bu Atun?"

"Iya. Mau makan di sini atau dibungkus?"

"Makan sini, Bu."

"Ya udah. Tunggu sebentar, ya."

Seperti biasa, Bara adalah orang yang paling tidak bisa diam dan usil. Di sela waktu menunggu makannya, jemarinya tak berhenti mengetuk meja. Sontak aku meliriknya. Ingin kutegur, tetapi keburu malas. Aku sedang tidak mood untuk berdebat.

"Makasih, Bu Atun." Bara mengulurkan tangan untuk menerima sepiring makanan yang Bu Atun sodorkan. "Lo nggak kenal yang namanya pulang tenggo ya, Mi? Duit gaji lo UMR banget apa sampai tiap hari harus lembur?" tanyanya sebelum menyuap ayam yang sudah dia cocol ke sambal.

Pertanyaan macam apa itu? Rasa-rasanya percuma juga aku menjawab. Pertanyaan Bara pasti akan merembet ke mana-mana. Jadi, aku tetap bungkam sembari berusaha mengosongkan piringku dengan cepat. Lagi pula, beberapa hari lalu aku juga pulang tenggo. Dia saja yang tidak tahu.

"Gue nggak pernah lihat lo jam lima udah di kosan. Kalau nggak jam delapan, lo malah nggak balik sama sekali." Dia menggigit timun, lalu mengunyahnya sehingga menimbulkan suara kecapan yang cukup mengganggu telinga. "Kadang gue nggak tega lihat lo kurang tidur tiap pagi. Kalau lo udah capek dan pengin resign, lo tinggal bilang gue, Mi. Gue bisa masukin lo ke kantor bokap. Dijamin deh, gaji aman, mental lo terselamatkan."

Dasar sok tahu!

Penawarannya menggiurkan, sih. Sayangnya, aku sama sekali tidak tertarik. Kubiarkan Bara mengoceh sesuka hati. Anggap saja dia sales asuransi yang sedang gentol promosi. Peduli setan dia mau makan sambil mengobrol sampai giginya kering. Aku tidak peduli.

Saat makanan di piringku tersisa beberapa suap, kurasakan ponsel dalam saku celana bergetar. Aku lupa mengaktifkan mode dering kembali. Karena selepas syuting di studio satu, aku sibuk di ruang editing untuk mengarahkan scene mana saja yang perlu di-cut agar lolos KPI. Kebetulan hari ini timku syuting dua episode Lensa Nalar untuk minggu depan yang tidak bisa tayang secara live.

Melihat nama Devika di layar, aku memutuskan untuk tidak menjawabnya. Kuletakkan ponsel dengan posisi menelungkup di meja, lalu lanjut makan. Tak lama ponselku bergetar lagi untuk kali kedua. Kubiarkan saja karena menyangka masih dari Devika. Namun, panggilan telepon itu terus masuk beberapa kali seolah-olah memaksaku untuk segera menjawabnya.

"Angkat dulu kali, Mi. Penting banget tuh kayaknya." Bara menyeletuk sembari mendorong piringnya yang sudah kosong.

Tak menghiraukannya, aku baru mengambil ponsel dan mengusap layarnya yang gelap setelah makananku habis. Keningku mengernyit mendapat beberapa kali panggilan tak terjawab. Bukan dari Devika, melainkan dari Ibu. Gegas aku bangkit dan menghampiri Bu Atun untuk membayar.

"Mi! Hei, Mi!" Bara ikut berdiri dan mengekoriku. "Nih anak main cabut aja. Bu, punya dia satuin saja sama punya saya. Saya yang bayar. Berapa semuanya, Bu?"

Aku menoleh mendengar Bara berkata demikian. Tanganku tidak jadi merogoh saku celana.

"Lho, kok nggak ada? Perasaan tadi gue taruh sini. Masa lupa bawa, sih?" gumam Bara. Dia sibuk mengecek kantung training-nya, tetapi tak menemukan apa-apa.

Aku memutar bola mata, mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Aku menyodorkannya pada Bu Atun sembari berkata, "Dua puluh lima ya, Bu? Sama punya dia, jadinya pas lima puluh, kan?"

"Iya, Mbak. Terima kasih. Sering-sering mampir lagi, ya! Besok menunya lodeh tewel, telur balado, sambal goreng ati, sama ada sayur asam Jakarta juga."

Aku mengulas senyum. Mengangguk kecil, aku lantas keluar warung. Tak kupedulikan Bara yang terus memanggil dan berusaha mengejarku. Aku terus berjalan sembari menunduk, sedangkan jempolku men-dial nomor Ibu.

"Halo, Bu. Ada apa?" tanyaku saat panggilan tersambung.

"Kamu lagi di mana, Nduk?"

"Di jalan mau balik ke kos. Ibu sehat, kan?"

"Alhamdulillah, Ibu sehat. Mmm ... Nduk, kamu ada pegangan satu juta ndak? Kalau ada, Ibu pinjam dulu boleh?"

Seketika langkahku terhenti. Diam-diam aku menarik napas, menertawakan diri sendiri yang terlalu berharap Ibu tengah mengkhawatirkanku. Katanya, ikatan Ibu dan anak itu sangat kuat, bukan? Kupikir, di Semarang sana Ibu merasakan bagaimana buruknya hari yang kujalani.

Sayangnya, kenyataan menamparku. Ibu hanya akan menelepon jika membutuhkan sesuatu untuk saudara-saudaraku. Entah untuk siapa kali ini. Bisa jadi untuk Mbak Kumala, Ibra, atau si bungsu Sarah. Menebaknya saja, tanpa terasa tanggul air mataku kembali runtuh.

"Ibu butuh buat apa?" Meskipun sudah bisa menyana, aku tetap menanyakan sembari mati-matian menyembunyikan isak dengan menahan napas.

"Buat bayar UKT adikmu, si Ibra. Ibu cuma punya lima juta, Nduk. Tadinya Ibu kepikiran mau pinjam mbakyu-mu, tapi kamu tahu sendiri kan, kalau mbakyu-mu lagi bangun rumah? Ibu ndak enak mau pinjam. Nanti malah ngriwuki."

Jemariku menghapus cepat air mata yang tak berhenti merembes. Satu hal yang aku sadari, Bara tak lagi seberisik tadi. Mungkin karena melihatku tiba-tiba menangis saat menelpon, dia hanya berdiri di sampingku sembari memainkan kerikil dengan ujung sepatu. Padahal aku tahu dia pasti mencuri dengar obrolanku dengan Ibu.

"Nanti Ami kabari lagi ya, Bu. Ini Ami lagi di jalan soalnya."

"Ya udah. Secepatnya ya, Nduk. Ibu tunggu. Karena kata Ibra, pembayaran terakhirnya itu besok."

"Iya. Teleponnya Ami tutup dulu ya, Bu. Assalamualaikum," jawabku, ingin cepat-cepat mengakhiri panggilan.

Sambungan telepon kami terputus tepat setelah Ibu menjawab salamku. Aku lantas duduk berjongkok. Kubenamkan wajah di antara lipatan tangan. Tangis yang seharian ini kutahan-tahan, akhirnya pecah.

Seharusnya, uang sejuta adalah nominal yang tak seberapa bagiku. Itu kalau aku sedang ada pegangan. Masalahnya, tabunganku sudah habis, sedangkan peganganku pun tidak banyak. Jika kukirimkan sisa uang yang kupunya pada Ibu, lantas aku akan makan apa selama tiga belas hari ke depan?

"Mi, jangan nangis di sini, dong. Duh, ntar gue disangka ngapa-ngapain lo lagi." Bara menepuk-nepuk bahuku. "Nangisnya tahan dulu napa, Mi. Minimal sampai kosan."


TBC

Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!

Thanks for your support~

Big hug,
Vanilla Hara
27/9/24

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang