Malam, Dears!
Baru nyadar kalau kemaren Hara belum update karena sibuk Maulidan. Maaf, ya! Besok DOUBLE update deh. Pagi agak siang sama malam, ya?And thanks for 1k viewers.
Terima kasih buat apresiasi kalian yang sampai bab 9 ini masih setia baca Almira.So, enjoy this story~
Happy reading!***
“Pokoknya aku nggak mau tahu ya, Mas Bara. Sampean cuci itu wajan sama mangkuk sampai bersih. Lagian kenapa nggak langsung dicuci sih, kalau habis dipakai?”
Kupelankan langkah ketika mendengar suara wanita yang sedang marah-marah ke Bara. Terdengar seru, aku diam-diam menyimak dan mencuri dengar.
“Astaga! Gue udah bilang, bukan gue, Arum! Gue nggak makan gorengan. Kolesterol. Nggak sehat buat badan gue yang lagi cutting.”
“Halah! Di sini kan, yang punya telur cuma Mas Bara. Siapa lagi kalau bukan Mas yang masak coba? Emangnya itu telur bisa jadi dadar balado sendiri?” Arum tidak mau mengalah.
“Ya nggak tahu. Telur gue aja hilang.”
Aku terkikik mendengar perdebatan mereka. Percaya deh, mau sampai kiamat pun Bara tidak mungkin mau diperintah-perintah. Apalagi untuk sesuatu yang bukan dia pelakunya.
“Mboh wis, Mas! Pokok sampean cuci. Awas kalau nggak dicuci. Tak bilangin Bu Wati!” ancam Arum sebelum pergi meninggalkan Bara yang mengosok rambut uring-uringan.
“Gue tahu lo dari tadi nguping ya, Mi!”
Tawaku sontak meledak, tak lagi kutahan-tahan seperti tadi. Puas sekali rasanya melihat Bara tak berdaya hanya karena ancaman Arum yang membawa-bawa nama Bu Wati. Ternyata, ada juga kelemahan Bara tinggal di sini. Buktinya, sekarang dia beneran sibuk membilas wajan dengan air mengalir.
Bibirku membuka, bersiap mengejeknya. Namun, Bara lebih dulu memercikkan air di tangannya yang basah ke wajahku.
“Nggak usah ngomong apa-apa. Gue lagi nggak mood,” tuturnya. Dia lantas pergi begitu saja dengan outfit yang sama seperti di hari pertama kami tak sengaja berpapasan.
Mengangkat bahu, aku tak mau ambil pusing.
“Lho, Mas Bara wis pergi, Mbak?” Arum keluar membawa sikat dari dalam kamar mandi luar.
“Iya. Baru aja. Tapi dia udah cuci wajannya, sih.”
Arum manggut-manggut, lalu mengeceknya. “Baguslah. Biar jadi kebiasaan juga buat anak kos cowok. Masa aku kebagian cuci piring terus,” sungutnya. “Eh, Mbak Almira dari mana? Baru balik dari beli sarapan?”
“Dari depan, Rum. Ambil vitamin." Aku memperlihatkan kantung plastik yang kubawa. "Tadi ada yang ngantar di depan."
Arum memutar badan. “Mbak Almira sudah baikan? Kalau belum sehat, libur dulu aja kerjanya, Mbak. Kesehatan lebih utama.”
“Iya. Tiga hari ke depan, gue ambil cuti kok, Rum."
"Syukur deh, kalau begitu." Arum membungkuk, meletakkan sikat yang dibawanya ke dalam timba yang ada di pojok dapur. "Kerja di TV memang sibuk terus gitu ya, Mbak?" tanyanya.
"Ya kalau kru utama, pasti sibuklah, Rum."
"Pantas Mbak Almira tiap hari pulang malam sampai nggak pulang."
Aku menyengir. "Itu ... kemarin malam gue sebenarnya pulang ke kosan kok, Rum. Cuma udah telat aja. Pagarnya udah Pak Alpian tutup," ceritaku. "Oh iya, Rum. Lo kok marah-marah ke Bara tadi? Kan bukan dia yang pakai wajannya, Rum."
“Iih, Mbak Almira. Bukan Mas Bara gimana? Jelas-jelas itu aku lihat mangkuk sisa ngocok telur. Yang punya telur di kosan ini cuma Mas Bara, Mbak. Kemarin dia beli sekilo terus nitip di kulkas sini.”
Ya, tidak salah, sih. Telurnya memang punya Bara. Tapi kan, yang bikin telur dadar balado bukan dia. Lagi apes saja sih, si Bara. Bisa-bisanya dia kena fitnah tanpa tahu apa-apa.
Aku yang mengetahui kejadian sebenarnya pun tergelak, kemudian berusaha meluruskan, “Telurnya memang punya Bara, Rum. Tapi gue berani jamin, yang masak telur dadar balado bukan dia.”
“Lah, terus siapa, Mbak?”
Aku meminta Arum mendekat, kemudian membisikkan nama si pelaku di telinganya.
“Astaghfirullahaladzim!” Sontak Arum beristighfar kencang. “Duh, piye iki, Mbak? Mas Bara pasti marah banget, yo?”
“Udah tenang aja.” Aku menepuk-nepuk pundak Arum yang panik. “Dia nggak mungkin marah balik sama lo. Paling cuma kesal dikit."
“Duh, Mbak. Aku beneran ndak enak iki lho, sama Mas Bara," gumamnya menyesal. “Si Miko itu ancene dancuk tenan!”
"Nanti gue bantu jelasin ke Bara, deh. Gimana?"
"Tenan, Mbak?"
"Iya."
Arum memelukku tanpa aba-aba hingga nyaris membuatku terjungkal jika tidak punya refleks yang luar biasa. "Makasih yo, Mbak Almira."
"Sama-sama." Aku membalas pelukannya, mengusap punggungnya sebelum melepas pelukan kami. Saat Arum masih kelihatan girang, aku tak melewatkan kesempatan untuk melontarkan tanya. Kebetulan ada yang ingin kutanyakan padanya terkait niatku untuk membalas kebaikan Emma. "Mmm ... Rum, lo kan lebih dulu ngekos di sini. Lo tahu nggak, anak kos sukanya apa? Rencananya, gue mau ngasih sesuatu buat salam perkenalan. Kemarin-kemarin kan gue belum sempat kenalan sama yang lain."
Arum bersedekap, meletakkan telunjuk kirinya di dagu. Dia berpikir sembari bergumam. "Pizza, brownies, burger? Tapi kayaknya mereka apa aja suka sih, Mbak. Apalagi yang gratisan."
Aku mengekeh ringan. Ucapan Arum barusan adalah fakta tak terbantahkan bagi anak kosan.
"Ya udah. Gue pesanin brownies aja kali, ya? Nanti tolong bantuin gue ya, buat bagiin ke yang lain?"
"Sip, Mbak!" Arum mengangkat kedua ibu jarinya sebatas dada.
Selepas itu, aku kembali ke kamar. Sesuai saran Arum, aku memesan sekotak Fudgy Brownies yang sudah dipotong menjadi tiga puluh bagian. Tak lupa juga aku memesan brownies ukuran tanggung untuk kuberikan ke Emma sebagai balasan kebaikannya. Semoga dengan begitu, tidak ada lagi yang menganggap kamar nomor tiga kosong dan kami menjadi lebih akrab ke depannya.
TBC
Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!
Thanks for your support~
Big hug,
Vanilla Hara
17/9/24
KAMU SEDANG MEMBACA
SESUAI BUDGET | ✔ | FIN
ChickLitAlmira Bestari, Produser Assistent i-Net TV, berusaha menabung demi membeli sebuah apartemen agar tak lagi menyewa bersama sahabatnya. Namun, orang tua dan saudaranya di kampung seperti tak pernah kehabisan akal untuk menguras tabungannya. Akhirnya...